Utang yang di mana-mana menyebabkannya tidak dapat berpikir jernih, sehingga ia malah serta berjudi dan mabuk bersama beberapa orang di desa sebagai pelampiasan—tetapi selalu kalah.
Sepulang berjudi, ia meledakkan emosinya dengan memukuli atau terlibat pertengkaran bersama anak pertamanya, Beliung. Seseorang yang merepresentasikan bunga berwarna tergelap. Kian lama, tentu saja hal itu merusak Beliung secara mental.
Namun sang ayah, pada akhirnya malah menghilang. Meninggalkan utang yang terserak.
Bunga di sebelah kanan menggambarkan Taufan, kakak kedua Ice. Jikalau Beliung berhadapan langsung dengan sang ayah sepulang berjudi, maka Taufan tetap di kamar menemani Ice. Mengajaknya bercakap kecil—mengalihkan perhatiannya.
Sementara bunga di tengah ialah Ice sendiri. Bunga itu tampak begitu goyah—dan nyaris tercabut. Selayaknya Ice. Yang hanya seorang remaja berusia empat belas tahun. Ia masih perlu belajar, belum siap mengarungi kerasnya kehidupan. Ia hanya ingin bersama kedua kakaknya.
Jeanne mengangguk diam-diam—membenarkan opininya. Sebab apabila mengingat kembali alasan Ice ingin lukisannya dipajang di galeri, ini masuk akal. Ice hanya hendak menunjukkan, bahwa ia begitu menyayangi kedua kakaknya. Dua sosok yang tumbuh bersamanya. Tanpa presensi sang ibu—yang telah tiada karena bencana longsor sewaktu Ice masih kecil.
Menurut sudut pandang Ice pula, lukisan itu seperti bercerita. Mengenai dirinya dan kedua kakaknya yang senantiasa bersama, sekalipun di tengah gejolak badai.
Berlawanan dengan realitas yang terjadi. Ia dititipkan sementara di rumah paman dan bibinya—agar ada yang memperhatikan dan merawat—hingga badai tersebut reda.
⋆˚.⊹ ᯓ〖 🎨 〗
Keluarga dari pihak ibu Ice bukanlah bangsawan. Melainkan hanya rakyat biasa, tetapi memiliki popularitas setara bangsawan. Dikenal akan kepiawaian dalam bidang melukis. Untuk itulah Ice tertarik dan mulai belajar melukis.
Hingga akhirnya, kini ia menciptakan satu lukisan yang dipajang di galeri seni milik pamannya. Hanya dalam dua pekan, lukisan tersebut menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Gur'latan yang mayoritas pecinta seni. Karena maknanya.
Mereka menafsirkannya sebagai 'kesabaran yang memberi kekuatan untuk tetap bertahan', 'ketabahan di antara ujian', serta 'hati yang tetap teguh'.
Ice tak mengacuhkan seperti apa pun pandangan mereka—selama masih berkaitan dengan lukisannya. Sebab saat ini, fokusnya terarah pada dua buah surat yang beberapa saat lalu diterima oleh bibinya, kemudian diberikan kepadanya.
Salah satu amplop memiliki motif garis-garis tipis bercabang dengan warna merah, penyegel merah berwarna lebih gelap, dan berlambang petir. Menandakan surat tersebut datang dari Kerajaan Gur'latan. Sementara yang lain polos, memiliki segel biru berlambang seberkas gandum. Ice yakin, surat ini dari kedua kakaknya.
"Yang mana dulu yang akan kau buka?" tanya sang paman.
Saat ini, Ice bersama paman dan bibinya berada di teras belakang.
"Mungkin, yang ini." Tangan kanan remaja itu menaruh surat bersegel merah di meja. Entahlah. Sejujurnya Ice bingung. Surat dari kerajaan pastilah memuat sesuatu yang penting. Namun, hatinya tak dapat berbohong. Ia lebih penasaran akan surat bersegel biru—ia yakin itu dari Taufan.
Bersama pikiran yang bimbang, jantung berdebar, dan napas agak memburu, ia membukanya tergesa-gesa. Matanya mengerjap-ngerjap gelisah diikuti peluh nan bermunculan di pelipisnya.
Manik birunya bergulir pelan-pelan menyertai deretan kata yang tertuang. Seiring jantungnya yang seperti berdetak lebih kuat, irisnya melebar dan bergetar. Timbul sensasi panas dan perih di matanya, lantas dibuat buram oleh kehadiran setitik cairan bening. Napasnya bertambah cepat.
YOU ARE READING
𝐋𝐀 𝐅𝐋𝐄𝐔𝐑 𝐄́𝐓𝐄𝐑𝐍𝐄𝐋𝐋𝐄
RandomLukisan Ice memang sederhana. Namun, mereka menafsirkannya sebagai sesuatu yang bermakna dalam. Tak ada yang menyadari, bahwa Ice juga menyelipkan cerita kecil ke dalam lukisan tersebut. Sebuah cerita yang bertentangan dengan realitas. Sekadar penga...
ᏞᎪ ᎰᏞᎬᏬᏒ Ꭼ́ᎢᎬᏒᏁᎬᏞᏞᎬ
Start from the beginning
