ᏞᎪ ᎰᏞᎬᏬᏒ Ꭼ́ᎢᎬᏒᏁᎬᏞᏞᎬ

Start from the beginning
                                        

Selepas ia berujar demikian, angin bertiup lebih kuat. Datang membawa keheningan yang melingkupi balkon.

⋆˚.⊹ ᯓ〖 🎨 〗

Ice tidak yakin apakah lukisannya layak dipajang di galeri seni milik pamannya atau tidak. Hanya sebuah lukisan sederhana pada kanvas persegi berukuran sedang—kira-kira dua jengkal kelingking wanita dewasa.

Menggambarkan padang rumput yang diterpa badai. Dengan gumpalan awan kelabu gelap yang tampak kabur, seakan-akan bergejolak. Sementara objek utama lukisan tersebut ialah tiga tangkai bunga berwarna biru nan berdampingan.

Bunga di sebelah kiri memiliki warna tergelap dan tangkai hitam juga berukuran paling besar. Sebaliknya, yang di tengah berwarna terang dengan tangkai hijau muda dan ukuran paling kecil. Sementara bunga di sebelah kanan tidak terlalu gelap maupun terang, bertangkai hijau tua, dan berukuran sedang. Perbedaan ukuran di antara ketiganya hanya tampak dari dekat.

"Yah, sudahlah. Pajang saja," monolog Ice.

Penduduk Gur'latan dikenal mencintai seni, terlebih lukisan. Selain itu, setiap orang mempunyai perspektif sendiri. Ice paham. Jikalau ada yang menafsirkannya sebagai hal yang berlainan dengan apa yang dipikirkannya, tidak masalah.

"Ice."

Remaja itu menengok. Didapatinya seorang wanita bergaun hijau muda dengan rambut pirang bergelombang yang tergerai, tengah melangkah masuk ke kamarnya. Jeanne de Lavigne, bibinya.

Seraya mengulas senyum lembut, ia duduk di tepi kasur, bersisian dengan Ice. "Hari ini lukisanmu akan dipajang di galeri. Apa kau ingin ikut melihat pemajangan lukisannya?"

"Tidak, Bibi. Aku tunggu saja di rumah. Lagi pula, pasti akan lama," balas Ice.

"Baiklah." Sang bibi mengangguk. Seterusnya, ia turut melihat lukisan tersebut. "Oh, ya, apa nama lukisanmu."

Senyuman terbit sebagai cara Ice menyembunyikan rasa sesak yang hadir di dadanya. "Aku menyebutnya, 'Bunga yang Abadi'. Atau, 'La Fleur Éternelle'."

"'Bunga yang Abadi'?" ulang wanita itu seraya menaikkan satu alis.

Ice mengangguk mantap. "Ya. Seperti namanya. Mereka tetap berdiri di tempatnya. Padahal sedang terjadi badai."

Jeanne mengangguk kecil. "Lalu, mengenai warnanya? Apa punya makna tersendiri? Bunga yang kiri itu paling gelap. Sedangkan di sebelahnya justru kebalikannya. Dan yang kanan tidak terlalu gelap atau terang."

"Bibi benar," tanggap Ice, "yang sebelah kiri, diasosiasikan sebagai prajurit utama dalam perang. Warnanya yang gelap dan tangkainya yang hitam menandakan, dia sudah biasa terluka. Tapi dia tetap mampu berdiri tegak dan terlihat kuat."

Wanita itu kembali mengangguk—kali ini dengan sorot mata lebih serius.

"Lalu yang kanan." Ice melanjutkan. "Dia seperti bala bantuan yang datang di saat yang tepat. Membantu prajurit utama memenangkan perang."

Ketika fokusnya tertuju secara keseluruhan pada lukisan tersebut, Ice mengatupkan bibirnya. Matanya yang memancarkan kesedihan pun kembali memanas dan perih. Lisannya kelu, diikuti napasnya yang sedikit tercekat.

"Dan yang tengah ... adalah sesuatu yang dilindungi prajurit. Apa pun itu. Yang jelas, harus dilindungi. Karena sangat berharga." Seiring kepalanya menunduk makin dalam, Ice meloloskan embusan napas melalui celah mulutnya.

Namun Jeanne, wanita itu menangkap hal lain seusai menyimpulkan penjelasan Ice terkait lukisan serta warna pada ketiga bunga tersebut.

Badai itu diibaratkan sebagai masalah yang menimpa keluarga Ice di desa. Keluarganya memiliki usaha pertanian paling sukses di desa, tetapi sayang pada musim panas tahun ini terjadi kegagalan panen yang fatal. Mengakibatkan sang ayah berutang sebagai upaya menghidupi keluarga.

𝐋𝐀 𝐅𝐋𝐄𝐔𝐑 𝐄́𝐓𝐄𝐑𝐍𝐄𝐋𝐋𝐄Where stories live. Discover now