Closer - Chapter 1

Mulai dari awal
                                    

Oma memang aneh, pikirnya. Anak kucing itu sungguh imut, sampai-sampai Ilsa jatuh hati sejak kali pertama melihatnya. Sebagai hewan yang baru ditemukan di atap rumah, anak kucing itu bisa dibilang bersih. Ilsa sudah memastikannya. "Oma nggak akan tahu kalau Mami tutup mulut soal...," Ilsa mengangkat tubuh anak kucing itu dan menimang-nimangnya, "... Chacha." Ia bahkan sudah mendapatkan nama untuk makhluk imut itu.

"Chacha?!" Mata Mami membulat. Chacha adalah nama kecil Ilsa, nama panggilan kesayangan dari Papi.

"Udah lama banget aku nggak dipanggil dengan nama itu. Dan rasanya, cuma Papi yang bakal melakukannya." Ilsa menimang-nimang tubuh anak kucing itu seperti menimang balita. "Sekarang, aku mau manggil kucing ini dengan nama itu. Chacha... Chacha... Chacha...."

"Terserah kamu sajalah." Mami mendesah dan semudah itu menyerah. Ia tampak sudah terlalu lelah. "Jangan libatkan Mami kalau sampai Oma marah-marah! Dan jangan biarkan anak kucing ini tidur di ranjang kamu! Walau kelihatannya bersih, siapa yang tahu ada kuman atau virus di tubuhnya?"

"Iya, Mami. Iyaaa...."

Kenapa sih, semakin bertambah usia seseorang, semakin bertambah pula ketakutan-ketakutan di dalam dirinya? Dan, memiliki ketakukan terhadap sesuatu yang belum tentu benar dan belum terjadi itu sangat tidak masuk akal. Itulah yang dipikirkan Ilsa mengenai Mami belakangan ini. Mungkinkah hal itu dikarenakan perceraian Mami dengan Ayah? Betapapun, menjadi seorang ibu tunggal bukanlah hal yang mudah. Mami harus mengurus semuanya. Mami harus menjadi seorang ibu sekaligus seorang ayah.

"Mami udah makan?" tanya Ilsa, setelah mereka terdiam beberapa saat. Ia baru menyadari, Mami masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang dilihatnya tadi pagi. Setelan semi formal yang biasa Mami kenakan untuk pergi bekerja atau urusan lainnya di luar rumah.

"Sudah."

"Kapan? Tadi siang?" selidik Ilsa. "Maksudku makan malam, Mamiii."

"Sejak kapan kamu mengkhawatirkan Mami?"

"Itu artinya Mami belum makan malam." Ilsa mengambil kesimpulan. "Makan, gih! Tadi Bi Ani masak sayur asem, ikan asin, tempe, dan sambel goreng yang eeenak banget!"

"Dudududu... perhatiannya anak Mami ini! Pasti ada maunya, nih!" Mami mencebil pipi Ilsa yang agak chubby. Ilsa menghindar dan lantas membantah. "Alah, ngaku saja! Kalau bukan soal anak kucing ini, pasti soal... oh, ya, Mami baru ingat. Gimana hari pertama kamu di sekolah baru? Nggak ada masalah, kan, kan, kan?!"

"Semuanya berjalan lancar," angguk Ilsa cepat-cepat. "Ingat, Mi. Aku udah cukup berpengalaman menjadi anak baru di tengah-tengah semester yang sedang berjalan."

"Kamu ini, kayak yang sudah puluhan kali pindah sekolah saja." Ya, Mami benar. Ilsa memang baru dua kali pindah sekolah: saat kelas tiga SD, dan saat kelas satu SMA kini. Dan sebenarnya, di samping khawatir kalau-kalau ada masalah yang menimpa Ilsa, Mami pun lumayan khawatir kalau-kalau Ilsa membuat masalah di sekolah barunya.

Ilsa nyengir kuda. "Pokoknya, Mami percaya aja sama aku. Di sini, aku bakal jadi anak yang lebih baik dan manis."

"Janji, ya?" Mami mengacungkan jari kelingkingnya.

"Janji," sambut kelingking Ilsa.

Ilsa tidak berdusta. Setidaknya, untuk hari pertama di sekolah barunya, ia bersikap baik dan manis seperti yang dijanjikannya kepada Mami.

Kalau malam ini Ilsa dipaksa bercerita tentang hari pertamanya di sekolah, ia akan memulainya dengan mengatakan betapa sejuk dan asrinya lingkungan sekolah barunya--yang sangat berbeda dengan suasana lingkungan SMA-nya di Pekanbaru sana. Kemudian, ia akan bercerita tentang wali kelasnya, Pak Sastrawijaya, guru bahasa Indonesia yang sangat puitis dan lumayan narsis; teman sebangkunya yang bernama Andin, si cewek bermuka bantal tapi cantik; teman-teman sekelasnya yang berisik tapi sepertinya lumayan baik; dan tentang jajanan di kantin yang variatif.

Ya, itu saja.

Apa? Masih ada?

Oke. Begini. Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang pasti pernah bertindak keliru. Apalagi dalam situasi dan kondisi terdesak, seperti saat sakit perut atau kebelet pipis. Terlebih jika hal itu menimpa anak baru yang belum tahu di mana letak toilet perempuan dan laki-laki. Jadi, singkat kata, Ilsa salah masuk toilet.

Salahkan saja si pembangun gedung yang tidak memasang urinoir di toilet laki-laki, sehingga Ilsa tetap berpikir itu adalah toilet perempuan. Salahkan juga anak-anak cowok yang tidak ada di dalam sana, sehingga Ilsa semakin yakin bahwa itu adalah toilet perempuan dan ia lantas masuk ke salah satu bilik kloset.

Setelah selesai, Ilsa keluar dari bilik itu, lalu terkejut setengah mati mendapati seorang anak laki-laki berdiri di depan pintu yang baru saja dibukanya. Serta-merta, ia memukuli anak laki-laki itu sambil mengumpat. Si anak laki-laki kewalahan hingga terjerembap ke lantai toilet yang lembap. Namun, dia sempat menarik tubuh Ilsa, hingga akhirnya mereka terjatuh bersama. Untungnya, Ilsa berada di atas tubuh anak laki-laki itu. Namun sialnya, posisi mereka membuat orang-orang yang datang--karena mendengar teriakan Ilsa--salah paham. Dan sialnya lagi, anak laki-laki itu adalah teman sekelas sekaligus ketua kelas Ilsa. Dan lebih sialnya lagi, anak laki-laki itu bukan orang yang ramah atau pun bijaksana.

Ini rahasia. Ilsa tidak akan pernah menceritakannya kepada Mami atau siapa pun di rumah ini. Termasuk kepada Chacha.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang