HAPPY READING ✨
Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote ⭐ & Komen 💬 yaa!
NO PLAGIAT!
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆
Pagi itu, cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis ruang inap 139, menggambar garis-garis hangat di lantai putih rumah sakit. Botol infus tergantung di tiang besi di samping ranjang, jarumnya tertancap di punggung tangan Kafka yang tampak pucat. Cowok itu berbaring lemas, matanya setengah terpejam, napasnya teratur tapi berat. Hanya ada Askara di sana—duduk malas di sofa dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota yang mulai ramai. Sebasta tadi sempat pamit keluar, katanya mau “nyabu” dulu.
Askara mengubah posisi duduknya, menyandarkan punggung ke sofa sambil memandangi keluar jendela beberapa detik, sebelum akhirnya melirik ke arah Kafka.
“Heh, monyet, move on bego!” ucap Askara sambil menghela napas, tatapannya datar tapi ada sedikit sorot khawatir.
Kafka tetap diam. Tatapannya kosong ke arah langit-langit, seakan suara Askara cuma lewat di telinganya tanpa singgah. Napasnya pelan, tapi terlihat berat, dadanya naik-turun malas seperti nggak punya tenaga buat menanggapi.
“Rara ngasih jarak ke lo tuh dipake buat pelan-pelan move on, bukan malah nyiksa diri lo sampe masuk RS,” lanjut Askara, nadanya setengah kesal, setengah prihatin. Dia bersandar ke sandaran sofa, satu kaki naik, matanya nyorot tajam ke arah ranjang.
Kafka memejam sebentar, lalu membuka mata lagi. Pandangannya tetap nggak berubah, datar, dingin, kayak nggak ada tenaga buat melawan ucapan itu.
“Gue bener-bener heran sama lo,” ucap Askara sambil menggeleng pelan, “ditolak iya, dijauhin juga iya, dan lo masih sama… masih naksir sama dia kayak ga ada cewek lain di dunia ini.”
“Iya… karena hati gue maunya Rara,” sahut Kafka pelan. Suaranya serak, kayak udah lama nggak dipake buat ngomong.
“Tapi Raranya nggak mau sama lo!” potong Askara cepat, nadanya sinis tapi bukan tanpa maksud.
“Dan itu kenyataan,” balas Kafka lirih. Pandangannya kosong, tapi sorot sedihnya jelas kebaca.
Askara mendengus, bahunya sedikit maju ke depan seolah mau nyorotin omongannya. “Itu dia, lo mau balik sahabatan lagi kan sama dia? Move on dulu, kocak. Sembuhin hati lo dulu. Jangan malah nyiksa diri lo dengan nggak makan sampe sakit-sakitan kayak gini. Otak lo di mana sih? Lo pikir begini tuh keren? Yang ada lo nyusahin diri lo sendiri, tolol!”
Kafka menghela napas, suaranya berat. “Masalahnya… gue nggak tau cara move on dari dia. Bahkan… gue nggak ada niat sama sekali.”
Askara memandangnya lama. Cahaya matahari pagi nyorot separuh wajahnya, bikin tatapannya keliatan makin serius. “Gue tau first love itu susah banget dilupain,” ucapnya pelan, “tapi bukan berarti lo nggak bisa lagi liat dia. Dia masih ada… bahkan sekarang, dia lagi nungguin lo di ruang tunggu.”
Kafka langsung menoleh. Matanya sedikit membesar. “Serius?”
“Iya, dia sama Kendra,” jawab Askara sambil mengangkat alis. Tapi rautnya berubah jadi lebih lembut. “Tapi… sekarang dia sedih, Kaf. Mukanya khawatir banget, dan alasannya… lo. Lo bilang lo bisa bahagia kalau liat dia senyum, kan? Sekarang buktiin. Bikin dia senyum dengan tunjukin kalau lo baik-baik aja… tanpa dia.”
Kafka terdiam lama. Jemarinya yang lemah bergerak sedikit di atas sprei, mencengkramnya pelan, kayak lagi nyari pegangan. “Gue nggak tau… gue bisa,” gumamnya.
YOU ARE READING
when I chase you [DIRA] - On Pause
Teen FictionRara ga pernah nyangka hidupnya bakal jungkir balik cuma karena satu cowok yang duduk di kelas sebelah. Niatnya iseng. Biar hidupnya ga kosong. Tapi semesta terlalu semangat ikut campur. Cowok itu-Kendra. Dingin, kalem, dan susah didekati. Tapi seti...
![when I chase you [DIRA] - On Pause](https://img.wattpad.com/cover/393447519-64-k648905.jpg)