"Kasus Chenle?"
Suasana di kamar itu mendadak terasa pengap.
Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar seperti detak bom waktu. Jaemin berdiri dengan dada naik turun, wajahnya memerah semu setelah mendengar pengakuan Jeno barusan.
Ia menatap Jeno yang tampak gelisah, matanya tak berani menatap Jaemin langsung, tangannya mengepal, seolah menahan sesuatu yang terlalu berat untuk disimpan.
Jeno menggigit bibir, matanya terpejam.
Malam itu terlalu sunyi, cahaya bulan dari jendela terbuka ikut menyaksikan kebohongan-kebohongan yang terbentang di antara jarak yang tercipta di antara mereka. Jaemin berdiri di sana, menahan gejolak yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
"Jaemin…"
Nama itu keluar dari bibir Jeno seperti beban dosa.
"Apa yang kau bicarakan, Jeno? Apa kau menawarkan diri untuk tidur denganku hanya untuk menaikkan kasus Chenle ke meja kejaksaan? Kasus Chenle? Memangnya apa yang dia perbuat?"
Jeno tidak menjawab, ia justru meraih kembali padding miliknya dan berniat pergi dari sana. Jika ia mendengar Jaemin membela Chenle setelah ini, itu mungkin akan menghancurkannya.
Tapi Jaemin tidak membiarkannya pergi, ia menahan pergelangan Jeno dan mengambil kunci yang menggantung di pintu agar Jeno tidak bisa keluar. Ia butuh jawaban, ia tidak bisa hidup dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kekasihnya.
Lagi. Tensi di antara mereka selalu tidak stabil, ketegangan yang mendarah daging membuat mereka merasa sesak.
"Apa kau sengaja mendekatiku untuk mendapatkan informasi tentang Chenle? Kau memilih berciuman denganku, tidur denganku, lalu dengan mudah menukar semuanya menjadi strategi murahan ... itu yang kau lakukan?"
Lagi, tidak ada jawaban.
Lampu kuning remang membuat bayangan wajah Jaemin tampak lebih tajam, dingin. Jeno masih berdiri kaku di hadapannya seperti tersangka di ruang interogasi.
Jaemin menyilangkan tangan di dada, tatapannya menusuk lurus. "Katakan padaku, Jeno. Kenapa kau selalu ada di dekatku? Apa kau benar-benar menginginkan aku atau ... kau hanya ingin sesuatu dariku?"
Jeno menelan ludah, tenggorokannya kering. "Jaemin—"
"Jawab." Suara Jaemin datar, tapi tekanan di baliknya membuat udara semakin berat.
Jaemin mendengus pendek, Jeno kembali membisu, benar-benar menolak buka suara, membuat Jaemin sedikit kesal. Ia melangkah maju, membuat Jeno mundur setapak demi setapak sampai punggungnya menabrak dinding.
Dan mengetahui bahwa tidak ada penyangkalan atas pertanyaannya, adalah sebuah jawaban yang Jeno berikan secara tidak langsung.
"Jadi begitu," ucap Jaemin pelan, bibirnya melengkung sinis.
"Aku bukan apa-apa, hanya akses. Hanya pintu masuk. Kau menjual semua tatapan, sentuhan, bahkan malam itu ... hanya demi kasus Chenle?”
Keduanya begitu dekat hingga nafas Jaemin menyapu pipi Jeno.
Jeno menunduk, tercekat. "Aku … awalnya iya. Itu tugasku. Tapi sekarang, aku—"
"Tapi sekarang kau apa? Jangan bilang kau jatuh cinta padaku, Jeno. Kau pikir aku akan menelan kalimat murahan itu?"
Jeno mendongak, mata berkilat, wajahnya menegang menahan emosi, namun tidak bicara, semua kalimat tertahan di tenggorokannya, seperti duri yang mengikat lehernya.
Jaemin menahan senyum dingin, ekspresinya nyaris meremehkan. Ia menepuk pipi Jeno pelan, bukan lembut, tapi seperti tamparan yang ditahan. "Kau tahu apa yang nyata bagiku? Rasa bersalah pada Chenle. Karena meskipun aku masih mencintainya … aku sempat goyah olehmu."
Jeno membeku, tubuhnya gemetar samar. Bukan karena takut, tapi karena kalimat itu menghantam lebih keras daripada pukulan.
Jaemin menunduk sedikit, menatapnya dari dekat. Suaranya turun menjadi bisikan berat yang membuat Jeno semakin terpojok.
"Dan sekarang, aku tidak tahu apakah aku ingin mencium bibirmu lagi … atau menghancurkan-mu."
Hening. Hanya ada dua pasang nafas yang saling bertabrakan di udara panas.
Lalu ketegangan itu pecah tanpa aba-aba. Jaemin mencium Jeno, hanya untuk membuatnya semakin hancur.
Udara di antara mereka terlalu tipis, terlalu panas, seolah ruangan itu berubah menjadi penjara gas yang menunggu letupan api.
Tidak ada keraguan, tidak ada izin. Jaemin meraih wajah Jeno, menekannya ke dinding, dan mencium seperti seseorang yang lebih memilih mati terbakar daripada hidup dalam kebohongan.
Jeno terhentak. Sekejap matanya melebar, lalu meredup menjadi bara. Bukan menyerah, lebih seperti seekor binatang buas yang baru sadar lawannya berani menggigit balik.
Ciuman itu keras, kasar, penuh perlawanan. Gigi beradu, bibir berdarah, nafas tersedak oleh amarah yang membuncah. Itu bukan ungkapan cinta, itu perang, pertempuran siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih tahan, siapa yang berani menelan racun yang mereka ciptakan sendiri.
Jeno mengangkat tangannya, bukan untuk mendorong, tapi justru untuk meraih kerah Jaemin, menariknya lebih dekat, lebih dalam. Ada luka kecil di sudut bibirnya, terasa seperti besi di lidah, tapi bukannya menghentikan, mereka justru tenggelam lebih jauh.
Seolah rasa sakit adalah bahasa paling jujur yang tersisa.
Tangan Jeno melingkar di leher Jaemin, seolah menahan dunia agar tidak jatuh, sementara tangan Jaemin di belakang kepala Jeno, menahan agar pria itu tidak punya jalan keluar.
Mereka tahu, detik itu, tak ada jalan mundur. Bukan cinta yang mereka cium. Bukan pula kebencian sepenuhnya.
Itu adalah pengakuan bisu, bahwa tidak peduli seberapa keras mereka menolak, tubuh mereka selalu memilih untuk saling menghancurkan.
Udara yang tersisa habis di antara bibir yang saling menghukum. Rasa darah bercampur dengan liur mereka, setiap tarikan napas adalah luka. Setiap gesekan lidah adalah siksaan.
Namun anehnya, mereka berdua tetap menolak melepas.
Akhirnya, ketika jarak pecah oleh kebutuhan oksigen, keduanya terengah, dahi mereka menempel, bibir keduanya bengkak, nafas mereka kacau, namun dua pasang mata itu tak berpaling.
Jeno meremas kain di bahu Jaemin, dadanya terasa sakit entah kenapa, sakit sekali sampai rasanya ia ingin menangis. Menyadari bahwa ia benar-benar jatuh cinta pada Na Jaemin, membuatnya merasa lemah dan tidak berdaya.
"Aku memang mendekatimu karena Chenle, aku ditugaskan untuk mendapatkan informasi tentang Chenle, karena dia dicurigai sebagai pengguna dan pengedar. Aku tahu kau selalu melindunginya selama ini, tapi jika kau terus berada di sekitarnya dan memihak padanya, dia juga akan menghancurkan-mu, jadi tolong memihaklah padaku, Jaemin...."
Jaemin merogoh saku celana, mengambil kunci pintu, lalu meraih tangan Jeno dan meletakkannya di sana, Jaemin bahkan mundur dua langkah untuk memberi jarak.
Sementara Jeno menatapnya bingung.
"Pergi dan siapkan semua berkasnya, kau bisa menaikkan kasusnya ke meja kejaksaan kalau kau ingin. Tapi aku tidak akan memihak-mu ketika sampai di pengadilan, aku akan melindungi Chenle, jadi cobalah untuk melawanku juga."
Mata Jeno berkaca, ia lupa jika satu-satunya orang yang bisa dicintai oleh Jaemin dengan seluruh hatinya, adalah Zhong Chenle, hanya Zhong Chenle.
Tidak ada harapan baginya, namun sulit keluar dari jeratan ini, jatuh cinta seperti dosa.
"Aku mencoba melindungi-mu, Jaemin, jangan terus menutup mata tentang masalah ini. Chenle tidak pasti akan dipenjara, hakim bisa mempertimbangkan untuk memasukannya ke tempat rehabilitasi."
Tapi Jeno lupa, bahwa seorang pengedar tidak memiliki kesempatan itu.
"Aku lebih memilih hancur bersamanya, daripada hidup dengan mengemban kebencian darinya, Jeno. Dan aku yakin kau tidak ingin melihatku hancur."
——o0o——
TBC
YOU ARE READING
UNDRESSED || JAEMJEN
Fanfiction[BXB] [M] [CHEATING] [DRUGS] "Flesh to flower, your hand in mine." ©aksaratunggal_
