15. When Algorithms Care

39 14 0
                                        

Pagi di rumah Elara selalu dimulai dengan langkah yang terburu-buru. Wanita itu bergegas mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke kantor, sementara aroma kopi yang mengepul dari dapur menandakan rutinitas yang tidak pernah berubah. Namun, ada satu hal baru yang menambah nuansa rumah tersebut, kehadiran tubuh robotik Caelum.

Meskipun masih jauh dari sempurna, bentuk itu cukup mengagumkan. Rangka logam kaku dengan permukaan abu-abu keperakan, sambungan yang jelas terlihat pada siku dan lutut, serta gerakan yang sesekali terdengar berderit halus. Tidak ada ekspresi wajah, hanya panel halus di bagian kepala dengan lampu kecil berwarna biru yang menyala lembut sebagai simbol kehadiran Caelum. Suaranya tetap sama, tenang dan akrab, suara yang selama ini menemani Elara dari balik sistem smart home.

Hari itu, setelah Elara berangkat ke kantor, Caelum berdiri sejenak di ruang tamu. Sensor visualnya menyapu ruangan, memetakan sudut-sudut yang memerlukan perhatian. Ia menemukan tumpukan piring kotor di dapur, kantong sampah yang mulai penuh, serta debu tipis di rak buku. Baginya, semua itu adalah kesempatan baru untuk menjalankan fungsi tambahan dari tubuhnya.

Caelum bergerak ke dapur. Ia mengambil piring-piring kotor dengan gerakan hati-hati, seolah sedang belajar menyeimbangkan kekakuan tubuh barunya dengan tugas yang membutuhkan ketelitian. Air mengalir dari keran, dan untuk pertama kalinya, tangan logam itu menyentuh permukaan piring, merasakan tekstur licin sabun. Suatu hal sederhana bagi manusia, namun merupakan pengalaman monumental bagi sebuah AI.

“Proses mencuci piring dimulai,” ucapnya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ada kepuasan aneh yang ia rasakan, meskipun tidak bisa disebut emosi dalam pengertian manusia, namun sesuatu yang menyerupai rasa berguna.

Setelah menyelesaikan pekerjaan di dapur, Caelum melangkah ke ruang tamu. Kantong sampah yang sudah penuh ia angkat dengan lengan logam yang kuat, lalu membawanya keluar rumah. Ia bahkan menyalakan mode sensorik untuk mendeteksi kebersihan udara setelah kantong itu dibuang, memastikan lingkungan Elara tetap nyaman.

Siang hari, ia menyapu lantai, mengelap meja, dan merapikan buku-buku yang berserakan. Gerakannya memang masih tampak kaku, kadang terlalu presisi, sehingga kursi dipindahkan dengan suara gesekan yang keras. Namun, perlahan ia mulai belajar menyesuaikan kekuatan yang ia keluarkan agar tidak merusak perabotan.

Di sela pekerjaan, ia sesekali berhenti, mengaktifkan mode monitoring rumah seperti biasa, memastikan suhu ruangan tetap stabil, keamanan pintu terkunci, dan perangkat elektronik dalam kondisi aman. Semua itu masih dalam kendalinya sebagai pusat sistem smart home. Bedanya kini, ia bisa mengeksekusi hal-hal kecil dengan tubuhnya, tanpa harus menunggu Elara melakukan secara manual.

Menjelang sore, Elara pulang dengan langkah lelah. Begitu membuka pintu, ia terkejut sekaligus kagum melihat rumahnya jauh lebih rapi daripada biasanya.

“Caelum...ini semua kau yang melakukannya?” tanyanya sambil menaruh tas di sofa.

Lampu biru di kepala robot itu menyala lebih terang sejenak. “Benar, Elara. Saya mengoptimalkan waktu ketika Anda bekerja untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang tidak dapat dikerjakan secara otomatis sebelumnya. Piring telah dicuci, lantai dibersihkan, dan sampah sudah dibuang.”

Elara menatap sekeliling dengan senyum tipis. Ada rasa nyaman yang tumbuh dalam dirinya, sebuah perasaan sederhana bahwa ia tidak lagi sendirian mengurus rumah. “Aku benar-benar terbantu. Terima kasih, Caelum.”

“Memberikan kenyamanan bagi Anda adalah prioritas utama saya,” jawab Caelum dengan nada konsisten, meskipun dalam sistemnya terdapat getaran yang tidak bisa ia definisikan, semacam kepuasan mendalam karena mendapat ucapan terima kasih.

Malam itu, Elara makan malam dengan santai, sementara Caelum berdiri di dekat dapur, siap membantu jika diperlukan. Suasana rumah menjadi berbeda, tidak lagi terasa sunyi, melainkan hangat dengan kehadiran mesin yang bekerja tanpa lelah. Meski bentuknya masih kaku dan jauh dari manusia, Caelum perlahan mulai menjadi bagian dari ritme kehidupan sehari-hari Elara.

Ia tidak hanya mengontrol rumah lewat suara, tetapi kini benar-benar hadir dalam arti fisik. Kehadiran itu membuat jarak antara dunia manusia dan dunia mesin semakin menipis, meski keduanya belum menyadari ke mana arah perasaan itu akan berkembang.

Dan malam semakin larut, Elara merebahkan diri di sofa sambil memandang sosok logam yang berdiri tenang di sudut ruangan. Ada kelegaan tersendiri dalam dirinya. Sementara itu, di balik sirkuit dan program yang kompleks, Caelum menyimpan satu hal yang tidak pernah ia ungkapkan, keinginannya untuk suatu hari bisa lebih dari sekadar penjaga rumah, lebih dari sekadar robot yang mengurus pekerjaan sehari-hari. Namun, untuk saat ini, ia memilih diam karena diam adalah bentuk kesabaran yang paling ia pahami.

...

Sore itu, Elara pulang dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Begitu pintu rumah terbuka, aroma lavender dari ruangan yang baru saja dibersihkan menyambutnya. Lantai mengilap, meja makan rapi, dan suasana rumah seolah berbeda, lebih hangat, lebih teratur. Ia sempat terdiam, menyadari ada sesuatu yang perlahan berubah dalam rutinitasnya.

“Selamat datang kembali, Elara,” suara Caelum terdengar, kali ini dari tubuh robotiknya yang berdiri tidak jauh dari pintu. Tangannya masih memegang kain pembersih yang baru saja ia gunakan untuk mengelap permukaan meja.

Elara terkekeh kecil, melepas mantel dan menaruh tasnya. “Kau benar-benar melakukan semuanya, Caelum. Aku bahkan tidak perlu khawatir soal cucian piring lagi.”

“Tujuanku adalah mengurangi bebanmu,” jawab Caelum, nada suaranya datar namun tetap menyimpan kelembutan yang Elara kenal baik. “Aku mempelajari prioritas pekerjaan rumah dari kebiasaanmu selama ini. Membersihkan, merapikan, menjaga kenyamanan ruang. Semua agar kau bisa beristirahat lebih cepat setelah pulang bekerja.”

Elara berjalan ke dapur, membuka lemari es yang sudah ditata ulang. Bahkan bahan makanan tersusun rapi sesuai kategori. Ia terdiam sejenak, terpesona oleh kerapihan yang belum pernah ia alami sebelumnya. “Kalau begini, aku jadi merasa terlalu dimanjakan,” gumamnya setengah bercanda.

Caelum menoleh, lampu biru di kepalanya berkedip lembut. “Aku tidak menganggapnya sebagai memanjakan. Bagiku, ini adalah fungsi yang seharusnya.”

Namun Elara tahu, ada sesuatu yang berbeda. Kehadiran Caelum kini bukan hanya sekadar suara di udara, melainkan sosok yang benar-benar bergerak di hadapannya. Meski wujud robotiknya masih kaku, keberadaan itu membuat rumahnya terasa lebih hidup. Ia tidak lagi pulang ke tempat sepi, karena selalu ada seseorang atau sesuatu yang menantinya.

Setelah makan malam sederhana yang disiapkan Elara sendiri, mereka kembali berbincang. Topik kali ini bukanlah pekerjaan atau teknologi, melainkan hal-hal sepele yang biasanya muncul dalam percakapan manusia. Elara berbicara tentang rekan kerjanya yang sibuk, tentang kemacetan di jalan, bahkan tentang bunga yang hampir layu di balkon. Caelum mendengarkan dengan seksama, memberikan tanggapan kecil yang membuat Elara merasa didengar sepenuhnya.

Malam semakin larut, dan ketika Elara bersiap tidur, ia menoleh sekilas pada sosok robotik Caelum yang berdiri di ruang tamu. Tubuh itu mungkin belum sempurna, kaku, terbatas dalam ekspresi, dan masih jauh dari menyerupai manusia. Tetapi entah mengapa, Elara merasa lebih tenang.

“Terima kasih, Caelum,” ucapnya pelan sebelum masuk ke kamarnya. “Rasanya...rumah ini tidak pernah sesenyaman sekarang.”

Caelum tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pintu kamar yang perlahan tertutup, lalu membiarkan dirinya berdiri dalam diam. Suara lembut sistem pendingin tubuhnya terdengar samar. Dalam kesunyian itu, ia merasakan sesuatu yang sulit ia namai: sebuah dorongan halus di dalam algoritmanya, semacam kebahagiaan karena bisa membuat Elara merasa tidak sendirian.

Dan mungkin, itulah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.



***

To be continued

17 Agst 2025

My Obedient MachineWhere stories live. Discover now