Bab 21 - Deep & Trigger

51 9 17
                                        

Mentari pagi menelusup masuk di antara sela-sela gorden ruang tengah unit Dista, menyinari wajahnya yang masih terlelap. Ia mengernyit pelan, lalu perlahan membuka mata. Tangannya terangkat, mencoba melindungi wajahnya dari sinar matahari yang mulai menghangatkan pagi.

Dista mengerjap beberapa kali, lalu terhenyak begitu sepenuhnya sadar. Tak jauh darinya, Jordy tertidur dengan kepala bersandar di sofa, tubuhnya sedikit menyamping ke arah Dista. Matanya kemudian menyapu seluruh ruang tengah. Bukan hanya Jordy saja—di depan televisi, Ajeng dan Maya tampak tidur bersisian, dengan selimut menyelimut tubuh mereka rapat.

Di dekat meja pantry, Gilang tergeletak terlentang dengan mulut menganga, tampak lelap tanpa peduli keadaan sekitarnya. Dan di kursi pantry, duduk Satria yang tengah menatap lurus ke arah Dista, dengan sebatang rokok di tangan dan segelas kopi hitam di meja sampingnya.

"Udah bangun?" tanya Satria sambil mematikan puntung rokoknya yang masih setengah ke dalam piring kecil.

"Emil, Aryo, sama Ari?"

"Mereka pulang tadi malam, katanya mau ke kampus pagi ini."

Dista mengangguk mengerti. Tadi malam, mereka datang menemani Dista dan menonton film di Netflix hingga larut malam—atau mungkin lebih dari itu. Sebab Dista yakin ia tertidur lebih dulu daripada yang lainnya.

"Lo enggak tidur, Sat?" Dista bangkit berdiri, berjalan ke arah meja pantry untuk mengambil segelas air.

"Udah, kok. Sebentar aja. Gue mau ke kampus." jawab Satria, meninggalkan kursinya. Tadi malam, Satria agak lama berbicara dengan Jordy.

Dista menatap Satria yang berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Tatapannya kemudian beralih pada Jordy, yang mulai menggeliat pelan dan perlahan membuka mata.

"Hai... selamat pagi," sapa Dista setelah meneguk segelas air. "Tidur nyenyak?"

Jordy belum menjawab, masih sibuk mengumpulkan kesadarannya. Dista terkekeh, lalu mengambil satu gelas kosong dan mengisinya dengan air. "Nih, minum dulu, Jor."

Jordy bangkit dengan malas, lalu berjalan menghampiri Dista dan mengambil gelas yang telah disiapkan untuknya. Setelah meneguk air putih itu, ia menatap Dista dengan penuh arti.

"Kamu sendiri gimana? Nyenyak nggak tidurnya?" tanyanya.

Senyuman perlahan kembali terkulum di wajah Dista. Anehnya, setelah satu minggu terakhir, malam ini justru menjadi malam pertamanya tidur tanpa mimpi buruk. Padahal posisi tidurnya tidak senyaman biasanya. Tapi ada yang berbeda, unit-nya terasa hangat, ramai oleh tawa dan cerita. Untuk pertama kalinya, Dista merasa benar-benar aman. Malam itu, ia berhasil melewati tidur panjang tanpa merasa seperti sedang melarikan diri dari sesuatu.

"Nyenyak banget, Jor," balas Dista. "Makasih ya."

Jordy mengernyit pelan, menatap Dista lekat. "Makasih untuk apa?"

"Aku tahu, pasti kamu yang minta mereka buat datang untuk hibur aku. Awalnya, aku pikir, aku enggak bakalan bisa tidur dengan nyaman lagi. Tapi ternyata mungkin, emang keramaian hangat yang aku butuhin. Bukan sesuatu yang... bikin aku tegang terus." Dista berbisik di akhir kalimat, seolah sedang membicarakan sesuatu. Senyumnya pun hilang, namun itu tak berlangsung lama. Sebab Dista kembali menatap Jordy sambil tersenyum. "Jadi... makasih, makasih kamu udah selalu mengusahakan hal yang baik buat aku, Jor."

Jordy terhenyak mendengar ucapan Dista yang terdengar begitu tulus. Rasanya, sejak mereka kembali ke Jakarta, baru kali ini Dista mengucapkan sesuatu yang begitu menyentuh untuknya. Dan lebih dari itu, Dista kembali tersenyum, setelah semua yang terjadi.

Tatapan Jordy perlahan melunak, dipenuhi kelegaan yang samar. Akhirnya, ia meloloskan tawa kecil, ringan, namun penuh makna.

"Kamu tahu, kan? Kalau yang aku mau cuma pengin kamu senyum lagi, Dista. Itu aja udah cukup." kata Jordy akhirnya.

Almost LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang