🎶 Coldplay — Everglow
...
"Adrian adalah satu-satunya hal yang terasa cukup meski tanpa skrip."
...
Aku tak pernah suka hal-hal yang tiba-tiba. Spontanitas, menurutku, terlalu sering jadi kedok dari kurangnya perencanaan.
Tapi Adrian bukan sembarang orang.
Dan kali ini, dia datang dengan dua tiket konser Coldplay di Tokyo.
“Jepang, babe. Jepang. Tokyo Dome. Kamu ngerti nggak, ini mimpi masa kecilku?” katanya waktu itu, dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru tahu Disneyland itu nyata.
Aku yang masih setengah sadar setelah liputan panjang, hanya bisa menatapnya kosong. “Kamu tahu jadwal aku padat, kan?”
Tapi dia sudah mengangkat-angkat ponsel, menunjukkan tanggal konser, tiket yang sudah dibeli, bahkan penginapan yang dia pesan—“yang dekat stasiun, dan kamarnya bisa buat pelukan habis nonton,” katanya santai, seolah semua logikaku tak penting.
Dan anehnya—pengajuan cutiku langsung disetujui.
Entah karena aku memang pegawai teladan, atau karena dia melakukan sesuatu di balik layar. Adrian punya cara.
Aku duduk lama di depan laptop, jari-jari hanya melayang di atas keyboard. Tab terbuka banyak, mulai dari rundown berita hingga transkrip wawancara eksklusif yang belum sempat kusentuh sejak kemarin. Tapi tak ada satu pun yang selesai.
Pikiranku melayang ke tiket Coldplay itu—tercetak rapi, berbahasa Jepang, disimpan Adrian dalam amplop bening seperti kenangan masa kecil yang ingin dijaga agar tak lecet.
“Jepang, babe. Jepang,” katanya lagi waktu itu, dengan nada memaksa tapi menggemaskan. “Kapan lagi, sih? Kamu tuh udah kebanyakan kerja. Hidup tuh bukan cuma naskah dan narasi berita.”
Dan yang menyebalkan adalah: dia benar.
Tapi bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah: siapa yang akan menyentuh pekerjaanku?
Ada banyak jurnalis di kantor, banyak reporter juga. Tapi kau tahu persis bahwa sebagian besar dari mereka bukan tipe yang kau percayai untuk menulis dengan nurani yang sama. Bukan karena mereka tidak kompeten. Tapi karena mereka... bukan aku.
Naskah beritaku selalu kubentuk dengan gelisah, dengan kepekaan yang kutempa dari kelelahan dan kejujuran. Satu tanda baca yang meleset, satu kutipan yang salah konteks, dan semua bisa runtuh. Kau tahu rasanya? Rasanya seperti kalau seorang chef harus menyerahkan dapurnya pada orang yang bahkan tak tahu suhu ideal untuk melelehkan mentega.
Aku membayangkan satu minggu tanpa mengedit, tanpa melihat footage mentah, tanpa menyusun narasi tengah malam sambil meneguk kopi basi. Dan orang lain duduk di mejaku, menyentuh catatan yang bahkan belum sempat kuberi judul.
Dan tiba-tiba aku panik.
“Kenapa kamu kelihatan stress?” tanya Adrian malam itu, waktu kami makan malam seadanya—mie goreng instan dan potongan tahu goreng.
“Karena kamu ngajak aku ke Jepang,” jawabku sambil meliriknya. “Dan kamu tahu kan, aku bukan orang yang bisa ninggalin semuanya kayak... kayak kamu ninggalin gelas kosong di meja makan.”
Dia tertawa. Tawanya menyebalkan. Ringan. Seolah semua hal di dunia ini bisa diselesaikan dengan satu senyuman dan rencana impulsif.
“Justru itu alasan kamu harus ikut, babe,” katanya sambil menyentuh jemariku sebentar. “Karena kamu terlalu takut ninggalin hal-hal yang udah kamu bentuk. Padahal, mungkin kamu juga butuh... dibentuk ulang.”
YOU ARE READING
Unscripted
RomanceKupikir hidup bisa direvisi seperti naskah berita. Sampai dia datang-anak magang yang mengacak-acak segmen hidupku yang tertata. Kami bukan berita utama. Kami bukan kisah untuk disiarkan. Kami adalah cinta yang tak pernah ditulis. Unscripted.
