DUA TAHUN KEMUDIAN
Aku menarik napas panjang. Ada wangi garam yang menyelinap masuk, membawa sesuatu dari masa lalu yang tidak lagi terasa menakutkan. Aku menundukkan kepala, merasakan lembutnya angin menyapu tengkukku, lalu membiarkan ingatan tadi pagi menyelinap kembali.
Pagi itu laut begitu jernih hingga dunia di bawahnya terasa lebih nyata daripada dunia tempat kami berpijak. Perahu kayu kecil yang kami tumpangi bergerak perlahan, menggesek air dengan suara yang nyaris mengajak untuk tidur. Samuel duduk di haluan, kaki menjuntai, rambutnya berantakan oleh angin. Ia menoleh sekali ke belakang, memastikan aku mengikuti.
“Airnya lagi bagus hari ini. Kakak udah siap?” katanya sambil memeriksa mask dan snorkelnya seolah ia instruktur profesional, padahal baru dua bulan jadi travel vlogger amatir.
“Aku selalu siap,” balasku.
Kata-kata itu terucap begitu saja. Dan ketika Samuel tersenyum lebar, senyum yang dulu jarang muncul, aku sadar bahwa mungkin aku benar-benar siap. Untuk apa pun.
Kami turun ke air bersamaan. Laut menyambut kami seperti halaman buku yang baru dibuka, tenang, penuh janji, penuh kemungkinan.
Di bawah permukaan, suara dunia menghilang. Tidak ada ruang redaksi yang ramai, tidak ada deadline mendesak, tidak ada seseorang yang membuat napasku patah berkali-kali. Hanya riak lembut, oksigen di tabung snorkel, dan warna-warna yang bergerak dengan ritme yang terasa seperti doa.
Seekor ikan napoleon besar melintas tak jauh dari kami. Warnanya biru kehijauan. Samuel menoleh padaku, matanya berbinar di balik mask, menunjuk-nunjuk dengan antusias. Aku mengangguk kecil, membiarkannya mengikuti arus.
Tak jauh di depan, gerombolan ikan kecil berwarna perak berenang kompak. Gerakannya seperti hujan yang jatuh vertikal ke satu titik. Ketika aku mengulurkan tangan, mereka memencar seperti kilasan cahaya. Indah. Sederhana. Melingkupi.
Lalu, kami bersisian mengikuti terumbu karang yang tumbuh seperti kota kecil yang tidak pernah tidur. Karang-karang lunak bergoyang perlahan, seolah sedang menari. Sementara karang keras berdiri tegak, menjadi fondasi kehidupan yang lebih besar, lebih sabar.
Aku menyentuh salah satunya, sekadar menyentuh permukaan pasir lembutnya dan jemariku gemetar. Bukan karena takut.
Samuel memercikkan air ke arahku dari bawah. Suara tawanya terdengar samar melalui snorkel, tapi tetap terasa penuh tenaga. Ia menunjuk ke arah seekor penyu yang melintas tak jauh.
Penyu itu berenang dengan keanggunan yang sulit dijelaskan. Seolah ia tahu betapa damainya dunia yang sedang dilewatinya. Seolah ia tidak pernah terburu-buru.
Untuk sesaat, aku ingin seperti itu.
Tidak tergesa. Tidak dikejar ketakutan. Tidak mencoba memelihara sesuatu yang sebenarnya sudah lama melepaskan diri dariku.
Kami mengikuti penyu itu cukup lama sampai ia menghilang ke balik bebatuan karang. Bayangannya memudar. Arus perlahan berubah arah. Dan dunia kembali mengecil menjadi suara napasku sendiri.
Ketika kami naik ke permukaan, matahari memantul di atas air, membuat semuanya terlihat keemasan. Para penyelam yang masih di perahu bertepuk tangan pelan, bukan untuk kami, tapi untuk pagi itu yang terlalu indah untuk tidak dirayakan. Samuel menyeka wajahnya.
“Gila… ini lebih keren dari video mana pun di YouTube,” katanya sambil memegangi fin-nya yang longgar.
“Kamu harusnya lebih fokus berenang daripada pamer,” kataku.
Samuel memukul lenganku pelan. “Kakak itu emang nggak tahu ya? Ini tuh momen langka!”
Aku tertawa. “Kalau begitu, jadikan ini thumbnail.”
YOU ARE READING
Unscripted
RomanceKupikir hidup bisa direvisi seperti naskah berita. Sampai dia datang-anak magang yang mengacak-acak segmen hidupku yang tertata. Kami bukan berita utama. Kami bukan kisah untuk disiarkan. Kami adalah cinta yang tak pernah ditulis. Unscripted.
