Langit siang Jakarta terasa agak mendung saat jam istirahat kedua tiba. Zizy duduk santai di kantin sekolah bersama Tara dan Safira, menikmati roti keju hangat dan es teh manis yang mulai mencair. Suasana hari itu seharusnya menyenangkan—pelajaran tak terlalu berat, dan guru Matematika bahkan membatalkan tugas mendadak. Tapi semua itu perlahan bergeser ketika Zizy memutuskan membeli tambahan jajanan dan melewati pojok kantin yang biasa ditempati Arvin dan sahabat-sahabatnya. Ia tak berniat menguping, hanya tak sengaja mendengar—ketika Farrel dengan suara pelan, tapi tetap terdengar jelas, berkata, "Gue masih inget pas lo bilang lo belum bisa lupain si cewek itu. Gila, dari SD, Vin. Lo ngeri banget." Zizy yang mendengar itu spontan menoleh sedikit, mencoba memastikan. Arvin hanya tertawa pelan, menunduk sambil menyendok sisa nasi di piringnya.
"Gue nggak yakin itu belum move on... tapi ya, belum sepenuhnya ilang juga," katanya pelan.
Dada Zizy terasa aneh. Ia berusaha menetralkan pikirannya, tapi hatinya menolak tenang. Suara itu bergema berulang dalam kepala.
Cewek dari SD? Belum move on?
***
Sepulang sekolah, Zizy memesan ojek online seperti biasa. Hujan gerimis menyambutnya saat ia berdiri di depan gerbang sekolah sambil memakai helm pinjaman. Udara sore agak dingin, membuatnya merapatkan jaket abu-abu tipis miliknya. Dalam perjalanan pulang, Zizy memilih menatap jalanan sambil mendengarkan lagu pelan dari earphone-nya. Lalu, di pertigaan dekat lampu merah, pandangannya menangkap sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Sebuah motor sport hitam mengerem pelan tepat di samping ojeknya. Di atasnya duduk dua orang—pasangan remaja SMA dengan seragam berbeda. Yang cowok memakai helm full face hitam, tapi kulit tangannya terlihat gelap sawo matang dan posturnya tinggi tegap, persis seperti Arvin. Yang cewek duduk manis di belakang, tangannya memeluk pinggang cowok itu erat. Zizy hanya bisa menatap tak yakin.
Itu Arvin? Tapi... kenapa boncengan sama cewek? Dan siapa dia?
Malamnya, Zizy duduk di meja belajarnya dengan buku terbuka tapi tak satupun kalimat bisa ia cerna. Tatapannya kosong, pikirannya sibuk menerka-nerka. Ia mencoba menyapa Arvin lewat chat Line, tapi hanya membaca status "online" tanpa tanda balasan.
Kenapa gue kayak gini?
Ia tahu, belum ada ikatan, belum ada janji, belum ada pernyataan perasaan di antara mereka. Tapi rasa yang tumbuh selama ini... bukan sesuatu yang bisa dibohongi. Rasa yang membuatnya memperhatikan cara Arvin bermain rubik, memperhatikan gaya bicaranya, caranya senyum kecil saat menyindir. Dan sekarang, rasa itu terganggu oleh kalimat Farrel dan sosok cowok bermotor yang terlalu mirip Arvin. Ia memejamkan mata, berharap semuanya hanya salah lihat.
***
Sementara itu, Arvin sedang sibuk mengerjakan tugas kelompok bersama Raffa dan Farrel di rumah Farrel. Ia tak tahu bahwa nama dan pikirannya sedang bergema kuat dalam kepala seorang cewek yang memikirkan terlalu banyak hal.
"Eh, lo tadi ngomong apaan sih di kantin soal masa lalu Arvin?" tanya Raffa sambil menyalakan laptop.
"Ya, kan itu cerita lama. Cuma becanda," jawab Farrel santai.
Arvin mengangkat kepala, "Kenapa emangnya?"
Raffa nyengir, "Gue rasa ada yang salah denger dan bakal salah paham."
Arvin mengerutkan kening, tak paham.
Tapi jauh di tempat berbeda, Zizy sudah menuliskan semuanya ke dalam lembaran diary-nya. Dengan pulpen favoritnya dan tangan yang sedikit gemetar karena bingung, Zizy menulis perlahan—mencoba menjernihkan semua rasa:
"Ada rasa yang tak diberi nama, tapi perlahan menjadi nyeri ketika terganggu. Katanya kamu belum bisa melupakan seseorang. Lalu apakah tempat di hatimu telah penuh? Apakah aku hanya penumpang sementara dalam kereta yang takkan berhenti di perasaanku? Aku tak ingin cemburu, tapi kenapa hati terasa sesak hanya karena siluet yang belum tentu kamu?"
___________________________________________
Jangan lupa untuk dukung cerita ini yuks!
Dengan Vote, Comment, dan Follow yaa :D
I hope u like it guys <3
YOU ARE READING
Unread Messages (ON GOING)
Non-FictionMereka dipertemukan sebagai dua jiwa yang bertolak belakang, tapi saling menyatu dalam diam. Dari bangku sekolah yang riuh, hingga percakapan-percakapan kecil yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar sapaan. Cinta tumbuh...
