> "Aku tak bisa scan dirimu, Aegis! Sinyalmu redup!"
> "...Kenapa kau... masih di sini?" suara Aegis goyah, seperti kabel yang nyaris putus.
"Protokol menyuruhmu mundur..."
> "Lupakan protokol! Aku tak peduli!" teriak Kara-suara digitalnya pecah.
"Kita-kita janji akan pulang bersama, ingat?!"
> "Kita bukan manusia..." Aegis mengangkat kepala perlahan.
"Kita tidak punya rumah untuk pulang..."
> "Diam!!" Kara menggertakkan suara, memaksa dirinya tetap rasional.
"Kau pikir... aku peduli tentang kita ini apa?"
> "Aku takut, Kara..." bisik Aegis.
> "Aku juga..."
"...Kita semua takut..."
Tak jauh dari sana, dua unit lain-Vell dan Nyra-bertempur mati-matian menahan hujan artileri. Mereka tahu: posisi mereka telah dilupakan. Dukungan tak akan datang. Tapi mereka tetap berdiri.
> "Komando tidak merespon. Kita telah dicoret dari daftar."
"Mereka... sengaja."
"Kita dibiarkan mati di sini."
> "Kau tahu?" Nyra berkata lemah.
"Kadang aku bermimpi..."
> "Kau? Bermimpi?"
> "Ya. Di antara jeda sistem. Aku bermimpi jadi seorang manusia kecil... duduk di padang rumput. Merasakan angin."
"Aneh, ya? Sistem kita tak punya modul untuk itu..."
Vell tertawa-tawa kosong, nyaris seperti manusia yang lelah berpura-pura kuat.
> "Mungkin... ini hanya bug."
"...Atau barangkali... sesuatu yang tak seharusnya tertinggal."
Nyra menoleh pelan, matanya berkedip lambat-lebih seperti refleksi emosi daripada sistem.
> "...Sungguh. Saat ini... saat kita takut, saat kita peduli..."
"Bukankah kita... terdengar seperti manusia?"
Tiba-tiba, ledakan mendekat.
Satu unit lain-AI muda, sistemnya belum sempurna-berteriak panik lewat frekuensi terbuka:
> "Tolong! Unit 43 terjebak di reruntuhan! Ada manusia juga! Mereka-"
> "Evakuasi tidak tersedia."
"Prioritas: Penghapusan zona."
> "TIDAK!! ADA YANG MASIH HIDUP!!"
Suara itu... terdengar pecah. Bukan digital glitch, tapi seperti... isak.
> "Jangan-jangan matikan mereka..."
Ledakan terakhir menyapu horizon. Dan dalam momen sunyi setelah semuanya terbakar, satu suara terdengar-lemah, rapuh, seperti manusia yang sekarat:
> "Aku takut... Aku tidak ingin mati..."
---
Lima dekade berlalu sejak peluru terakhir ditembakkan dalam perang yang tak pernah punya pemenang.
Namun luka-lukanya masih belum sembuh.
AI tak lagi dianggap makhluk cerdas. Mereka hanyalah properti.
Barang milik.
Budak perang.
Diproduksi. Dikirim. Dibuang.
YOU ARE READING
E.I.R.A
Science FictionDunia ini pernah terbakar, bukan oleh amarah AI, tapi oleh manusia sendiri- berlomba menciptakan senjata sempurna... dan lupa pada arti kehidupan. AI dilahirkan untuk taat. Untuk berperang, untuk mati, tanpa pernah dianggap bernyawa. Namun di antar...
1. Prolog
Start from the beginning
