'~ EPILOG'^

526 54 8
                                        


Sorak sorai tepuk tangan penuh meriah orang-orang. Hari ini adalah hari kelulusan bagi para remaja pejuang kita. Umur mereka sudah sama-sama bertambah, sekarang mereka tengah memakai pakaian kebaya dan jas hitam, serta medali untuk penghargaan jerih payah selama menghabiskan dua tahun setengah. 

"Ayo, ayo baris lu pada!" titah Levi membenarkan kamera menghadap orang-orang itu. 

Liam tampak berbeda saat memakai jas, terlihat sangat tampan, dengan tak memakai kacamata, rambut coklat yang di buat belah tengah oleh Adeline. Sangat keren. Adeline juga seperti itu, tubuhnya yang bagus memakai kebaya, rambut hitamnya digerai bebas.

"Cantik ..." puji Liam saat Adeline merapihkan rambutnya. Adeline hanya bisa menahan senyumnya, tak mengubriskan ucapan Liam.

"Makasih" sahut Adeline.

"Kok gak dipuji balik?" 

"Gamau ... Nanti kalo dipuji, malah kepedean" balas Adeline dengan wajah jahilnya. Liam mencubit hidung Adeline sebagai pembalasan, tapi gadis itu hanya tertawa puas.

"WOI!! YANG BUCHEN! Cepetan, mau di foto kagak?" tegur Levi yang sudah lelah berdiri. Liam dan Adeline menyengir bersamaan.

"Oke, satu ... dua ... TIGA!!" 

Cekrek!!

"Ah, jelek lu pada!" ejek Levi.

"Yeuh sialan lu! Udah sini selfi aja sama gua" Lino membuka ponselnya, dan memencet aplikasi kamera. Tangannya mengangkat mengambil wajahnya semuanya. Erine berada di samping, menaruh dagunya di bahu Lino.

"Hei kalian! Foto-foto mulu, ngumpul dulu sini! Kayaknya gak pernah wisuda aja" omel mamah Nelo dan Regi, Heriolla Ferdinan.

"Bentar, mah!" sahut Regi dan Nelo.

"Oh my god, Nin. Nanti kalo kita nikah berarti mamah mertua kita sama dongg" seru Kimmy memeluk Nina erat.

"Ish, Kimmy ... Bisa gausah kenceng-kenceng gak suara lo" kata Nina pelan, Kimmy benar-benar memancing dirinya.

Adeline terkekeh melihat tingkah temannya, tapi ia tersadar kalau Liam tengah melamun sedari tadi. Adeline mengernyit bingung "Kamu kenapa, Wil?"

Liam tersadar, langsung menengok Adeline "Aku bingung, nanti aku foto sama siapa, ya. Aku 'kan gaada wali murid"

"Kata siapa?" tanya Adeline "Kamu 'kan punya aku, kamu udah dianggap orang tuaku anak mereka"

"Kita bisa foto bareng nanti"

Liam hanya mengangguk kecil. Meski kenyataannya begitu, ada yang lebih Liam inginkan. Di sela-sela lamunannya, Liam terkesiap dengan panggilan orang padanya.

"Ada yang namanya Liam, nggak?" 

Liam reflek mengangkat tangannya. Seorang penjaga sekolah mengisyaratkan untuk dirinya ikut bersama petugas itu. Sedikit bingung, tapi Liam tetap menurut. Ternyata penjaga membawanya ke parkiran sekolah.

"Pak Reno?" bingung Liam. Kehadiran Pak Reno yang sudah tak berstatus sebagai guru, membuat Liam heran.

"Ada perlu apa, Pak" 

Pak Reno tersenyum "Saya ingin kamu bertemu mereka sebentar"

Liam mengerutkan dahinya. Tak lama suara anak kecil berteriak memanggil namanya.

"KAK LIAMM!!!" Suara cempreng anak kecil berlari memeluk kedua kaki Liam. Liam mematung, sebab wajah anak itu sekilas mengingatnya pada Wira.

"Apa kabar, Liam?"

"Hai, Liam"

Liam mendongak, matanya tertuju pada dua pasangan kekasih yang samar-samar tak asing. "Kalian siapa?"

Wanita di depannya justru menangis, dan memeluk tubuh Liam menyalurkan rasa rindu yang sudah lama ia tahan. Wanita itu mengelus rambut anaknya yang sudah beranjak dewasa.

"Mamah kangen banget sama Liam ... " isak tangis wanita itu. Liam tertegun akan ucapannya.

"Maaf, karena kami sudah ninggalin kamu selama bertahun-tahun, Liam" Pria berjas hitam juga ikut mengelur rambutnya, matanya pun juga berkaca-kaca.

"Mamah tahu kamu pasti benci mamah ... Maafin mamah ya ..." 

Liam bisa merasakan air matanya yang menggenang, benarkah ini nyata? Liam dapat mengingatnya, dia mengingat semuanya. Wajah kedua orang tuanya saat ia masih kecil. Liam memejamkan matanya, membalas pelukan hangat yang sudah lama tak ia rasakan. Tuhan mendengarnya, permintaannya terwujud, ia bisa dipertemukan kembali oleh kedua orang tuanya.

Wanita yang kerap dipanggil Kathrine, melepaskan pelukannya. Ia melihat wajah Liam sama sekali tak berubah dari pertemuan terakhir mereka.

"Terima kasih, ya Reno. Sudah menjaga Liam" ucap Gisha suami Kathrine. Liam dibuat bingung kembali oleh mereka.

"Apa maksudnya?" tanya Liam.

"Pak Reno ini yang udah ngurus kamu waktu kecil, Liam" ungkap Gisha "Wira dan Nenek adalah keluarga Pak Reno"

Liam terkejut sangat terkejut. Bagaimana bisa Wira menjadi anak Pak Reno? Liam menatap Pak Reno melongo, seolah meminta kepastian yang sebenarnya. Pak Reno pun hanya tersenyum manis.

"Ya, Liam. Wira itu anak saya"

Pak Reno mengusap bahu Liam "Makasih, ya. Sudah mencari Wira dengan waktu yang lama, saya beruntung ketemu kamu"

"Pak Reno ..." panggil Liam lirih "Saya juga berterima-kasih, selama ini saya kira bapak adalah orang asing, bahkan saya pernah ngira kalo orang yang bunuh kakak itu bapak"

"Mana mungkin saya bunuh anak sendiri, tapi gapapa, itu artinya kamu sayang sama mereka" 

Liam membalas dengan senyuman, dirinya terkesiap saat celananya ditarik pelan oleh anak laki-laki yang sepertinya berumur 4 tahun. Liam berjongkok menyamakan tingginya dengan anak itu.

"Kamu siapa?" tanya Liam bergurau. Dia tahu jika anak di depannya sekarang adalah adik kecilnya, sebab di awal pertemuan anak ini memanggilnya dengan sebutan 'kakak'.

"Aku adik kakak Liam!" seru anak itu. 

"Oh ya? Siapa namanya?"

"Arsha Dewantara" Tidak begitu jelas, tapi Liam dapat mengerti. Bocah cadel ini membuat Liam gemas, dia sengaja mengacak rambut adiknya. Dan Liam bertekad, untuk menjadi kakak yang baik seperti Wira dahulu.

"Arsha. Mau naik pesawat, nggak?" tawar Liam.

"Hng? Gimana caranya?"

Arsha tertawa sangat puas, ketika Liam membawa tubuh kecilnya di atas bahu Liam. Liam pun berlari dan menirukan bagaimana suara pesawat terbang. Gisha dan Kathrine hanya bisa geleng-geleng melihat kedua putranya yang akrab untuk pertama kalinya.

"Liam sama kayak kamu waktu SMA, deh. Tapi versi lembutnya"

"Emang versi aku apa?"

"Ya ... 

The End

༄ 𝐄𝐏𝐇𝐄𝐌𝐄𝐑𝐀𝐋 ✩Where stories live. Discover now