Welcome
.
.
.
.
.
Happy Reading
Rintik hujan jatuh pelan, membasahi pekarangan rumah tua itu.
Langit sore yang biasanya berwarna jingga kini kelabu, seolah ikut berduka.
Aku berdiri di depan rumah itu - rumah yang dulu selalu ingin kutinggalkan.
Rumah yang menyimpan terlalu banyak kenangan buruk.
Rumah tempat aku belajar membenci.
Dan rumah tempat aku kehilangan segalanya.
"Rana, cepat masuk. Udara makin dingin," suara itu samar, suara yang sudah lama tak kudengar.
Suara Ibu.
Tapi Ibu sudah lama pergi. Ayah pun tak lagi ada.
Kini, hanya aku - dan ribuan kenangan yang masih menusuk.
Aku melangkah masuk. Bau kayu basah, suara lantai tua yang berderit, semuanya masih sama.
Di ruang tengah, ada foto keluarga yang masih tergantung.
Foto saat aku, Ibu, dan Ayah masih lengkap.
Aku menatap foto itu lama. Ada sesuatu di dadaku yang sesak, seakan waktu mundur.
Andai saja waktu bisa kembali...
Mungkin aku akan lebih sering berkata "Aku sayang kalian."
Mungkin aku tak akan banyak membenci.
Mungkin... aku tak akan sesendiri ini.
Air mata yang kutahan akhirnya jatuh juga.
"Maaf ya, Bu... Pa... Aku anak yang buruk."
YOU ARE READING
langit tak lagi biru
Teen FictionSejak kecil, Rana merasa bahwa ia adalah anak yang tidak diinginkan. Ayahnya keras, ibunya pendiam dan sering sakit-sakitan. Rumah bukan tempat nyaman, tapi penjara tanpa jeruji. Namun, ketika satu per satu orang yang ia benci itu pergi, Rana baru m...
