05. ₊❛ SIDES OF THE CARD ❜

588 120 1
                                        

"Kau harus mati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kau harus mati."

Aku melihatnya lagi─wanita itu, menatapku dengan dingin sambil mengangkat pisau. Tubuhku berlumuran darah, dan itu satu-satunya hal yang benar-benar kusadari. Perutku terkoyak, bibirku gemetar, tak mampu bersuara, bahkan untuk menangis pun rasanya tak sanggup.

Tengah malam selalu jadi awal petaka bagiku. Aku tak tahu kenapa malam itu aku memilih tidur di dalam lemari.

Suara sirene ambulans dan tangisan palsu wanita itu mengiringi rasa perih yang menyebar di sekujur tubuhku. Dia menyembunyikan mata tajamnya di balik kepanikan yang dibuat-buat, sementara orang-orang berkerumun di sekeliling. Tapi aku tahu─di dalam hatinya, dia benar-benar ingin aku mati. Lebih dari siapa pun.

"FUCK!"

Keringat dingin membasahi wajahku. Nafasku memburu, dan aku terbangun dengan tubuh terlonjak dari tempat tidur. Jantungku berdetak kencang, tanganku gemetar hebat─tak bisa ku kendalikan. Lagi-lagi, mimpi sialan itu. Telingaku berdenging, dan di tengah kekacauan itu, aku melihatnya─siluet wanita itu berdiri di hadapanku.

"Sial," gumamku lirih.

Aku memejamkan mata, mencoba meyakinkan diri bahwa dia tak mungkin ada di sini. Aku tahu ini hanya halusinasi, tapi rasa takut itu tetap membekas. Aku mengerang pelan, kedua tangan meremas rambutku kuat-kuat, sementara kakiku menyentak kasur, membuatnya berantakan tak karuan.

"Pergilah sialan."

Aku mengumpat, berusaha bangkit dari ranjang, tapi tubuhku terjatuh. Sosok wanita itu masih ada. Aku merayap ke dinding dan membenturkan kepalaku berkali-kali. Saat sadar, darah sudah mengalir. Tapi setidaknya, aku merasa tenang. Mengatur napas yang tersengal, aku tertawa pelan─nyaris seperti orang gila.

Tanganku mengusap dahi yang berdarah, lalu mendesis pelan, "Dasar bodoh."

Aku bangkit, meraih ponsel dan menyalakannya. Senyum kecut muncul saat kulihat jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Menghela napas, aku keluar kamar dan duduk di sofa. Tanganku mengambil sebatang rokok, menyalakannya, mencoba menenangkan diri sambil menyeka darah di dahiku.

Waktu terus berjalan. Saat malam akhirnya berlalu dan jarum jam mendekati pukul tujuh pagi, aku kembali menghela napas, memastikan cahaya matahari sudah benar-benar muncul. Baru saat itu aku merasa cukup aman untuk memejamkan mata lagi, mengambil waktu untuk istirahat.

Rasanya tak begitu lama hingga tidurku terganggu. Mataku berkedut saat cahaya matahari mulai menyelinap masuk melalui celah jendela yang tertutupi gorden. Dengan enggan, aku membuka mata. Kepalaku berdenyut─mungkin karena aku hanya sempat tidur beberapa jam. Aku mendengus, mengecek jam di ponsel. Benar saja, masih pukul sembilan pagi.

Aku berniat kembali tidur, tapi perutku tidak sepemikiran. Rasanya keroncongan─maklum, semalam aku hanya makan ayam, dan itu pun setelah pertandingan. Jelas saja lapar, tapi aku terlalu malas untuk menyentuh nasi.

𝐉𝐎𝐊𝐄𝐑 wind breaker male reader.Where stories live. Discover now