PROLOG

32 3 5
                                        

Namanya Talitha, tidak banyak yang mengenalnya lebih dari sekedar wajah sopan di balik meja kantor. Ia bukan siapa-siapa, dan tidak pernah bercita-cita menjadi siapa-siapa.

Ia tumbuh seperti rumput di pinggir jalan- tak dipandang, tetapi tetap bertahan. Menjalani hidup seperti mesin : bangun, bekerja, pulang, tidur, lalu mengulangnya lagi esok.

Hidup Talitha sederhana, tapi tidak tenang. Ia bekerja sebagai admin di sebuah perusahaan kecil yang seharusnya tak begitu menuntut banyak. Namun nyatanya tekanan tidak selalu datang dari pekerjaan- kadang justru dari manusia yang memegang kuasa.

Atasannya bukan sekedar keras; ia adalah badai kecil yang datang setiap hari, mematahkan harga diri lewat kata-kata, menyentil luka lama yang bahkan belum sempat sembuh. Talitha belajar diam, menunduk, menyimpan marah dalam folder-folder yang tak pernah dibuka siapa pun.

Tapi diam, meskipun nyaman, bukanlah tempat perlindungan sejati.

Diluar jendela kantornya, negara tempat ia lahir dan tumbuh perlahan-lahan retak. Hukum yang kehilangan arah, keadilan kehilangan suara, dan rakyat seperti dirinya kehilangan harapan. Media dibungkam, suara-suara kritis dianggap ancaman, dan kebenaran menjadi hal yang mahal, hanya dijual kepada mereka yang punya kuasa.

Talitha menyaksikan semua itu, awalnya seperti penonton pasif di tepi panggung besar. Tapi ada sesuatu didalam dirinya yang menolak untuk terus duduk diam. Bukan karena ia merasa lebih baik dari yang lain, atau karena ia punya jawaban atas semuanya. Tapi karena rasa bersalah tumbuh perlahan- Seperti bisikan yang tak bisa lagi diabaikan: " Jika kamu bisa berbicara, mengapa memilih untuk bungkam? ".
Maka ia menulis.

Di sela malam dan lelah, ia menyalakan layar laptop dan membiarkan jarinya bergerak. Kata demi kata, bukan sekedar curahan hati, melainkan jeritan yang ia bungkus rapi. Ia menulis tentang ketidakadilan yang dilihatnya, tentang negara yang kehilangan wajahnya, tentang orang-orang kecil yang dilupakan. Ia tidak tahu apakah tulisannya akan dibaca.

Tapi ia tahu, bahwa menulis adalah bentuk perlawanan paling sunyi yang bisa ia lakukan.

Tidak ada yang tahu siapa Talitha sebenarnya. Tapi suatu hari nanti, mereka mungkin akan membaca satu artikel yang membuat dada mereka sesak dan mata mereka panas.

Mereka mungkin tidak tahu siapa penulisnya, tapi di balik setiap kata yang menggugah. Ada seorang wanita sederhana, yang memilih untuk bersuara- Meski tak pernah diminta. Dan mungkin, di dunia yang kacau ini , keberanian semacam itu adalah awal dari segalanya.

I'M WITH DWIPANTARAWhere stories live. Discover now