Prolog: Puncak Langit yang Terbakar

2 0 0
                                        



Di dunia Eryndor, langit tidak pernah benar-benar gelap. Bahkan di malam terdalam, ketika bintang-bintang bersembunyi di balik awan tebal, kilauan samar dari Puncak Langit—sebuah gunung suci yang menjulang hingga menembus lapisan awan tertinggi—selalu menerangi cakrawala dengan cahaya lembut. Gunung itu bukan sekadar keajaiban alam yang memukau mata; ia adalah jantung Eryndor, sumber kekuatan terbesar yang pernah ada. Di puncaknya, tersimpan Fragmen Api, lima kristal suci yang masing-masing menyimpan esensi elemen alam: api, air, angin, tanah, dan petir. Kristal-kristal itu bukan benda mati; mereka hidup, berdenyut dengan energi yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya terasa bergetar. Mereka adalah peninggalan para dewa kuno, yang konon menciptakan Eryndor dari kekosongan dan menitipkan Fragmen Api sebagai ujian bagi makhluk yang akan menghuni dunia ini.


Setiap Fragmen Api memiliki kekuatan yang tak terbayangkan. Fragmen Api Merah bisa membakar seluruh hutan dalam sekejap, menciptakan lautan api yang tak bisa dipadamkan. Fragmen Api Biru mampu memanggil gelombang raksasa dari laut terdalam, menghancurkan kota-kota dengan air yang bergerak seperti makhluk hidup. Fragmen Api Putih mengendalikan angin, menciptakan badai yang bisa merobek langit dan menghancurkan apa saja di jalurnya. Fragmen Api Cokelat membangunkan tanah, memicu gempa yang membelah daratan dan menumbuhkan gunung-gunung baru. Dan Fragmen Api Ungu, yang paling ditakuti, melepaskan petir yang bisa membakar jiwa, kilat yang tidak hanya menghancurkan tubuh tetapi juga menghapus keberadaan seseorang dari dunia ini.


Namun, kekuatan itu datang dengan harga mahal. Mereka yang berani menyentuh Fragmen Api dan menggunakannya akan merasakan jiwa mereka perlahan terkikis. Kristal-kristal itu seperti parasit; mereka memberi kekuatan, tapi juga memakan esensi kehidupan penggunanya. Hanya mereka yang memiliki kemauan besi dan tubuh yang kuat yang bisa bertahan lama dengan Fragmen Api di tangan mereka. Banyak yang gagal—para pahlawan legendaris, penyihir hebat, dan raja-raja besar—semuanya akhirnya jatuh, tubuh mereka menjadi abu, jiwa mereka lenyap, hanya karena mereka tidak cukup kuat untuk menahan beban kekuatan itu.


Selama ribuan tahun, lima klan besar di Eryndor menjaga Fragmen Api di Puncak Langit, masing-masing bertanggung jawab atas satu elemen. Klan Api, yang dikenal sebagai Penari Bara, tinggal di lembah-lembah vulkanik, kulit mereka kehitaman karena panas abadi yang mereka hadapi setiap hari. Mereka bisa menciptakan bola api dari tangan kosong, dan senjata mereka selalu menyala, bahkan di tengah hujan. Klan Air, atau Penjaga Ombak, mendiami pantai-pantai di selatan, tubuh mereka lentur dan gesit, mampu bergerak secepat arus laut. Mereka bisa memanggil hujan atau tsunami dengan satu gerakan tangan. Klan Angin, yang disebut Pengelana Badai, hidup di dataran tinggi, rambut mereka selalu berkibar ditiup angin yang mereka ciptakan sendiri. Mereka bisa terbang tanpa sayap, melesat di udara lebih cepat dari burung manapun. Klan Tanah, atau Pembentuk Bumi, tinggal di pegunungan, tubuh mereka kokoh seperti batu, dan mereka bisa membentuk benteng dari tanah dalam hitungan detik. Terakhir, Klan Petir, yang dikenal sebagai Penyambar Langit, mendiami dataran terbuka di timur, mata mereka selalu bersinar dengan kilau listrik. Mereka bisa menyerang dari jarak jauh, petir mereka tidak pernah meleset, dan suara gemuruhnya bisa membuat musuh gemetar sebelum pertarungan dimulai.


Kelima klan ini bersumpah untuk menjaga keseimbangan. Mereka membentuk perjanjian suci di Puncak Langit, di hadapan Fragmen Api, bahwa tidak ada klan yang boleh menguasai lebih dari satu kristal. Mereka percaya bahwa jika satu klan mengendalikan semua Fragmen Api, dunia akan hancur—bukan karena kekuatan itu sendiri, tetapi karena keserakahan yang akan mengikutinya. Namun, keseimbangan itu rapuh, seperti kaca yang bisa pecah dengan satu sentuhan. Setiap klan, di balik senyum dan janji mereka, diam-diam menginginkan kekuatan lebih. Klan Api ingin membakar dunia dan membangunnya kembali dengan api mereka. Klan Air bermimpi menenggelamkan daratan dan menjadikan laut sebagai satu-satunya kerajaan. Klan Angin ingin menguasai langit sepenuhnya, menghapus semua yang berani menantang mereka. Klan Tanah ingin menutup dunia dengan batu, menciptakan benteng abadi yang tak bisa ditembus. Dan Klan Petir, yang paling ambisius, ingin menjadi dewa baru, mengendalikan semua elemen dengan kilat mereka.

Di tengah ketegangan itu, sebuah ramalan kuno mulai bergema di antara para tetua klan. Ramalan itu ditulis dalam bahasa dewa, terukir di dinding gua suci di Puncak Langit, dan hanya bisa dibaca oleh mereka yang memiliki darah murni dari klan. Ramalan itu berbunyi: "Ketika Puncak Langit terbakar dengan nyala lima warna, seorang pengembara tanpa klan, yang lahir dari darah campuran, akan bangkit. Dia akan mengambil semua Fragmen Api, dan dunia akan bergetar di tangannya. Dia adalah Penyelamat yang menyatukan Eryndor—atau Penghancur yang membakarnya hingga menjadi abu."


Ramalan itu telah ada selama ribuan tahun, tapi tidak ada yang benar-benar mempercayainya. Puncak Langit terbakar dengan nyala lima warna? Itu tidak pernah terjadi sejak dunia ini diciptakan. Dan seorang pengembara tanpa klan? Semua orang di Eryndor lahir dalam klan, kecuali mereka yang dianggap "darah campuran"—keturunan dari perkawinan antar klan, yang dianggap sebagai aib dan sering diasingkan. Orang-orang seperti itu tidak pernah memiliki kekuatan; mereka dianggap lemah, tidak layak untuk menyentuh Fragmen Api. Jadi, ramalan itu hanya dianggap sebagai dongeng, cerita untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak melanggar perjanjian suci.


Namun, malam itu, semua keraguan itu hancur. Langit Eryndor tiba-tiba bergetar, seolah ada tangan raksasa yang mengguncang cakrawala. Puncak Langit, yang biasanya hanya memancarkan cahaya samar, tiba-tiba menyala dengan nyala yang begitu terang hingga bisa dilihat dari ujung dunia. Nyala itu bukan satu warna—ia berkobar dengan lima warna sekaligus: merah menyala seperti darah, biru berkilau seperti laut, putih berputar seperti badai, cokelat pekat seperti tanah, dan ungu menyambar seperti petir. Cahaya itu begitu kuat hingga malam terasa seperti siang, dan suara gemuruh dari gunung itu menggema ke seluruh daratan, membuat tanah bergetar dan burung-burung terbang ketakutan.


Di desa-desa, orang-orang berhenti bekerja. Para petani menjatuhkan cangkul mereka, para nelayan menarik jaring mereka, dan para pedagang menutup kios mereka. Mereka berlutut, berdoa kepada dewa-dewa kuno, atau menangis ketakutan, mengira akhir dunia telah tiba. Di istana-istana klan, para tetua berkumpul dengan wajah pucat, mata mereka terpaku pada Puncak Langit. Mereka tahu apa arti nyala itu. Ramalan itu bukan lagi dongeng—ia telah dimulai.

Di sebuah desa kecil bernama Vyris, yang terletak di kaki Puncak Langit, seorang pemuda bernama Riven terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin. Dia baru berusia 18 tahun, tubuhnya kurus tapi tangguh karena bertahun-tahun bekerja di ladang bersama ayahnya. Riven bukan bagian dari klan manapun. Ibunya berasal dari Klan Air, ayahnya dari Klan Tanah, dan perkawinan mereka dianggap sebagai pengkhianatan oleh kedua klan. Akibatnya, Riven dan keluarganya diasingkan, hidup di desa terpencil yang penuh dengan orang-orang "darah campuran" lainnya. Dia tidak pernah memiliki kekuatan elemen, tidak seperti anak-anak klan yang bisa memanggil api atau angin sejak kecil. Tapi malam itu, sesuatu berubah.

Riven merasakan tangannya panas, seolah ada arus listrik yang mengalir di nadinya. Dia menatap tangannya, dan matanya terbelalak ketika melihat kilau samar berwarna ungu—tanda kekuatan petir. "Ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya gemetar. Dia bukan bagian dari Klan Petir. Dia tidak seharusnya memiliki kekuatan ini. Tapi kilau itu nyata, dan setiap kali dia menggerakkan tangannya, percikan kecil petir melompat di antara jari-jarinya, membuat udara di sekitarnya berderak.


Di luar rumah kayu kecilnya, Riven mendengar teriakan dan tangisan. Dia berlari keluar, dan pemandangan di depannya membuatnya membeku. Puncak Langit terbakar dengan nyala lima warna, dan langit di atas desa Vyris bergetar hebat. Ayahnya, Toren, berdiri di depan rumah, wajahnya penuh ketakutan. "Riven, apa yang terjadi dengan tanganmu?" tanyanya, suaranya bergetar.

Riven tidak bisa menjawab. Dia hanya menatap tangannya, lalu ke Puncak Langit, dan akhirnya ke ayahnya. "Aku... aku tidak tahu," katanya, suaranya hampir tidak terdengar di tengah gemuruh yang menggema dari gunung. Tapi di dalam hatinya, dia tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan di balik nyala lima warna itu, sesuatu yang jauh lebih besar—dan jauh lebih berbahaya—sedang menunggunya.



EryndorOnde histórias criam vida. Descubra agora