Prolog : Api yang Tak Pernah Dinamai

2 2 0
                                        

Hujan turun deras membasahi kaca jendela markas Tokyo Noir Familia malam itu. Di dalam ruangan penuh asap rokok dan cahaya lampu gantung kuning kusam, suasana nyaris membeku.

Rion duduk di kursi kepala meja—tenang, tajam, nyaris dingin. Setiap gerakannya dipantau, setiap helaan napasnya dianggap keputusan. Ia tak berbicara banyak, cukup satu lirikan, dan semua diam.

Di sebelahnya, Caine menyilangkan tangan, bersandar seolah tak peduli, tapi matanya tak pernah lepas dari satu hal : musuh yang bisa menyelinap, dan... pria di sisinya.

“Gin, laporanmu.” Rion bersuara, tenang namun mengandung tekanan. Gin maju, meletakkan map tebal di atas meja. “Lahan pelabuhan wilayah Selatan. Sudah bersih. Tapi ada jejak keluarga Kurogane.”

“Selalu saja mereka,” gumam Key, menyikut Elya di sebelahnya.
Elya hanya menyeringai tipis. “Kalau kita sikat sekarang, tidak akan ada sisa.”

Riji menatap Caine sejenak, lalu bergumam, “Kita butuh strategi, bukan amarah.”

Caine mengangkat alis, melempar pandangan datar. “Dan kamu pikir duduk diam akan menyelamatkan kita, Riji?”

Tawa kecil pecah, tegang tapi tertahan.
Namun Rion mengangkat tangan. Semua hening.

Dan saat itulah mata Rion dan Caine bertemu hanya sebentar. Terlalu sebentar bagi orang biasa, tapi cukup lama untuk membakar sesuatu yang hanya mereka berdua tahu.

Mereka pernah hampir kehilangan segalanya. Dan mungkin, masih belum siap mengaku kalau yang mereka pertaruhkan—bukan hanya keluarga ini. Tapi satu sama lain.

Noir Yang Tak TersentuhWhere stories live. Discover now