Haryun berdiri kaku di aula besar istana. Suara langkah kaki bergema, menggema keras di dinding marmer. Pangeran kedua, Seong-min, berjalan santai ke arahnya dengan senyum tipis. Mata mereka saling mengunci — dua saudara yang kini berdiri di sisi berlawanan.
"Kau sudah tahu, Kakak?" Seong-min berkata pelan, suaranya penuh sindiran. "Bahwa selama ini akulah yang menarik tali Seo-rin?"
"Mengapa, Seong-min? Mengapa kau melakukan ini?" Haryun mengepalkan tinjunya, bergetar menahan amarah.
Seong-min tertawa kecil. "Ayah selalu memandangmu. Kau pewaris takhta. Aku? Bayanganmu. Selalu kau, Haryun. Kau, kau, kau. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
Suasana di aula semakin tegang. Para pengawal berdiri berjaga, sementara para penasihat mulai berbisik cemas. Haryun menarik napas dalam, berusaha tetap tenang.
"Kau tidak perlu begini. Aku bisa berbicara dengan Ayah…"
"Terlambat!" bentak Seong-min tiba-tiba. "Aku sudah menyiapkan ini terlalu lama untuk mundur hanya karena belas kasihanmu."
---
Intrik dan Rencana Licik
Di balik layar, para penasihat mulai saling bertukar pandang. Mereka tahu: satu langkah salah, istana akan terpecah. Jaringan rahasia Seong-min sudah menyebar hingga ke dapur istana, penjaga gerbang, bahkan salah satu komandan pasukan.
Jiseok muncul di sisi Haryun, matanya waspada. "Paduka, aku mendengar laporan. Seong-min menyuap beberapa pengawal di bagian timur istana. Kita tidak bisa memercayai siapa pun sekarang."
"Kalau begitu, kita selesaikan ini sekarang," bisik Haryun, sorot matanya dingin.
---
Duel di Tengah Istana
Tanpa aba-aba, Seong-min mencabut pedang ramping dari balik jubahnya. Kilauan logam menyambar cahaya matahari.
"Mari kita lihat, Kakak. Siapa yang pantas memimpin kerajaan ini."
Haryun menghunus pedangnya, napasnya tertahan. Jiseok berdiri di samping, tapi Haryun mengangkat tangan. "Biarkan aku sendiri."
Dentang pertama terdengar saat pedang mereka beradu. Seong-min menyerang cepat, berusaha menebas sisi Haryun, tapi sang pangeran menangkis dengan presisi. Setiap benturan pedang memercikkan api, gema denting memenuhi aula.
"Kau selalu terlalu baik, Haryun! Itu kelemahanmu!" seru Seong-min sambil menyerang bertubi-tubi.
Haryun mengerang pelan, menahan serangan itu. "Dan kau selalu terlalu serakah! Itu kehancuranmu!"
Dengan satu gerakan cepat, Haryun memutar pedangnya, mengunci senjata Seong-min, dan menjatuhkannya ke lantai. Pedangnya mengarah ke leher adiknya.
"Sudah cukup, Seong-min. Hentikan ini."
Seong-min terengah-engah, menatap kakaknya dengan mata berkilat. "Kau takkan membunuhku. Kau tak punya keberanian itu."
---
Keputusan Berat
Haryun menarik napas panjang. Semua mata tertuju padanya. Ia tahu: satu tebasan, dan semua akan selesai. Tapi itu juga berarti kehilangan saudara kandungnya.
"Jiseok," katanya pelan. "Tangkap dia."
Jiseok bergerak cepat, memborgol Seong-min yang masih tertawa pelan.
"Kau pikir ini berakhir?" bisik Seong-min sambil menyeringai. "Masih ada yang lain, Kakak. Masih ada…"
Haryun memejamkan mata sejenak. Ia tahu, ini baru permulaan.
---
Aula Kosong, Hati yang Penuh Luka
Malam itu, Haryun duduk sendirian di ruang pribadinya. Tangannya gemetar, hatinya sakit. Semua ini — keluarga, kekuasaan, pengkhianatan — mulai menghancurkannya dari dalam.
Jiseok masuk pelan, membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Haryun, meraih tangannya.
"Kau sudah melakukan yang benar, Haryun," bisiknya lembut.
"Benarkah? Mengurung saudaraku sendiri?" suara Haryun serak, hampir pecah.
"Kau menyelamatkan kerajaanmu. Kau menyelamatkanku. Dan kau menyelamatkan dirimu sendiri."
Haryun memeluk Jiseok erat, air matanya jatuh satu per satu. Dalam keheningan itu, ia sadar: perjalanan mereka masih panjang. Tapi malam itu, setidaknya, mereka masih bersama.
---
✨
YOU ARE READING
「 Bound by His Highness 」 - END
Historical FictionPutra Mahkota Lee Haryun terkenal bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena sisi gelapnya yang tak pernah diketahui rakyat: seorang penguasa muda yang terobsesi dengan kekuatan, kendali, dan kepemilikan mutlak. Di balik pintu istana, pengaw...
