---
Gue berusaha jaga jarak sepanjang hari.
Di kelas, gue sengaja duduk jauh dari Jay. Di kantin, gue cari alasan buat nggak makan bareng Jake. Bahkan pas istirahat kedua, gue kabur ke perpustakaan.
Tapi mereka selalu nemuin gue.
Gue duduk di pojokan perpustakaan, berharap bisa tenang sebentar. Tapi nggak lama, suara kursi bergeser bikin gue reflek nengok.
Jay duduk di depan gue.
Gue kaget. "Lu ngapain di sini?"
Dia nggak langsung jawab, cuma menatap gue lama. "Lu kenapa?"
Gue mencibir. "Kenapa apanya?"
Jay nggak bereaksi. "Lu menghindar."
Gue ngelirik ke arah pintu, berharap Jake nggak tiba-tiba muncul juga. "Nggak ada yang gue hindarin."
Jay menyandarkan punggung ke kursinya. "Sunghoon."
Nada suaranya bikin gue diam.
"Lu sadar nggak kalau semua yang lu lakuin percuma?" Jay melanjutkan.
Gue menelan ludah. "Apa maksud lu?"
Jay mendekatkan tubuhnya ke meja, tatapannya lebih tajam. "Lu bisa kabur sejauh apapun, tapi ujung-ujungnya kita bakal tetep nemuin lu."
Gue merasakan jantung gue berdetak lebih cepat. "Gue nggak ngerti lu ngomong apa."
Jay tersenyum kecil. "Lu ngerti."
Gue menggigit bibir, mencoba tetap tenang. Tapi sebelum gue sempat jawab, suara lain muncul di belakang gue.
"Akhirnya ketemu."
Jake.
Gue reflek nengok. Jake berdiri di belakang gue dengan ekspresi puas. "Gue nyariin lu dari tadi, Sunghoon."
Sial. Gue kejebak.
Jay dan Jake sekarang duduk di dua sisi gue. Jalan keluar satu-satunya cuma pintu, tapi pasti mereka nggak bakal ngizinin gue kabur lagi.
"Sunghoon," Jay memanggil nama gue lagi, kali ini lebih pelan.
Jake bersandar ke kursinya, senyum jahilnya tetap ada. "Kita udah bilang, kan?"
Gue terdiam, tangan gue mengepal di atas meja.
Jay menatap gue dalam. "Lu nggak bisa kabur dari kita."
Gue menahan napas.
Karena sialnya, gue tahu mereka benar.
---
Gue benci ini.
Gue benci gimana mereka selalu berhasil ngejebak gue. Gue benci gimana mereka selalu tahu kalau gue mau kabur. Dan yang paling gue benci…
Gue benci karena gue mulai nyerah.
Gue duduk di antara mereka dengan tangan terlipat di dada. "Jadi, kalian mau apa?"
Jake nyengir. "Nggak apa-apa. Cuma mau pastiin lu nggak kabur lagi."
Gue mencibir. "Emang kenapa kalau gue kabur?"
Jay bertumpu ke meja, menatap gue tanpa ekspresi. "Lu pikir lu bisa?"
Gue membuka mulut buat jawab, tapi nggak ada kata-kata yang keluar.
Jake mendekat, tangannya tiba-tiba narik pergelangan tangan gue. "Kita udah terlalu jauh buat lu bisa kabur, Sunghoon."
Jay menambahkan, "Lu udah milik kita."
Gue menelan ludah. Sial. Kenapa mereka ngomongnya kayak gini?
Jake menyandarkan dagunya ke bahu gue, suaranya lebih lembut. "Kita nggak akan maksa lu buat ngaku, tapi lu tahu sendiri, kan?"
Gue tetap diam.
Jay memperhatikan gue lama sebelum akhirnya mengulurkan tangannya. Jarinya menyentuh dagu gue, memaksa gue menatap dia.
"Lu udah terjebak, Sunghoon."
Gue menahan napas.
Jake tersenyum kecil, tangannya masih mencengkram pergelangan tangan gue. "Jadi, berhenti kabur."
Jay mendekat sedikit, suaranya pelan tapi dalam. "Karena kita nggak bakal ngelepasin lu."
Gue nggak bisa gerak. Nggak bisa ngomong.
Sial.
Gue pikir gue yang mengendalikan permainan ini.
Tapi ternyata… gue yang jadi permainannya.
