Between Strings and Arrows

827 56 0
                                        

Lapangan panahan SMA Taruna Bangsa sore itu dipenuhi udara hangat yang menenangkan. Matahari sudah mulai condong ke barat, menyebarkan sinar oranye keemasan yang membentuk siluet-siluet lembut di sekitar arena latihan. Aruna Callista Widyadhana berdiri di garis panah dengan wajah serius namun tenang. Posturnya tegak, busur berada di tangan kiri, dan jemarinya dengan gesit menarik tali hingga membentuk garis sejajar dengan dagu.

Thwip.

Anak panah meluncur cepat dan menusuk sasaran di titik kuning nyaris sempurna.

Di sisi tribun kecil yang tak banyak diisi orang, seorang siswa baru duduk sendiri. Hale Haviland. Hoodie kelabu dan laptop terbuka di pangkuannya. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, tapi sesekali pergerakan itu terhenti saat matanya melirik ke lapangan.

Bukan karena panahan, bukan karena latihan, tapi karena Aruna.

Dia nyaris tidak mengenali wajah itu saat pertama kali masuk sekolah. Tapi sekarang, setelah menghabiskan waktu mengurai satu per satu informasi, menyambungkan potongan nama, catatan ekstrakurikuler, hingga foto-foto dokumentasi sekolah, dia semakin yakin.

Aruna adalah gadis yang pernah berdiri di taman kompleks bertahun-tahun lalu, melindungi Hana kecil dari anak-anak nakal yang mengolok dan mendorongnya. Saat itu, Hale hanya bisa menonton dari kejauhan, terlalu telat untuk bertindak. Tapi Aruna—si anak SD kelas 4 dengan pita rambut dan suara lantang—berani berdiri paling depan.

Sekarang, gadis itu berdiri lagi. Bukan di taman, tapi di lapangan. Masih dengan keberanian yang sama, hanya wujudnya berbeda, anak panah dan target sebagai lawan.

Hale menarik napas dalam-dalam. Di layar laptopnya, daftar nama siswa Taruna Bangsa sudah terbuka penuh. Foto, catatan akademik, kegiatan ekskul. Semuanya ditandai. Tapi matanya tak benar-benar fokus ke layar.

Dia memperhatikan Aruna lagi.

Yang membuat Hale makin tertarik, bukan cuma karena ingatan masa lalu. Tapi karena dalam diamnya, Aruna punya semacam sinar yang berbeda. Dia tidak berusaha tampil. Tapi justru itu yang membuat orang ingin menoleh.

Thwip.

Anak panah kedua kembali mendarat di tengah.

Hale menutup laptop pelan, meletakkannya di samping, dan menyandarkan punggung ke kursi kayu. Di balik wajah datarnya, pikirannya bekerja keras. Ia mulai menyusun ulang seluruh benang merahnya.

Kalau benar Aruna yang pernah bantu Hana, apakah dia tahu siapa yang membullynya waktu itu?

Pertanyaan itu kembali berputar, dan seperti gravitasi, semuanya selalu membawa Hale kembali pada Aruna.

Dan untuk pertama kalinya sejak dia pindah dari Bandung, Hale merasa langkahnya tidak lagi berat. Ia tahu ke mana arah tujuan berikutnya.

Tepat ke lingkaran itu.

Ke pusat semua anak panah Aruna mendarat.

The Archer and The HackerWhere stories live. Discover now