ㅤ
Idghaf, sosok yang sempurna di mata banyak orang. Hidupnya penuh akan kemewahan dan status sosial yang tinggi, wajah tampan bak pangeran negeri dongeng ; memiliki segala hal yang orang lain inginkan dalam hidupnya. Tapi, di balik kesempurnaan itu...
Entah sejak kapan dan kapan itu dimulai, yang jelas Idghaf dan Januar tidak tahu. Bisik-bisik mulai terdengar, namun seperti sengaja dilakukan. Yang jelas, keduanya tak suka, apalagi ini menyangkut seseorang yang dekat dengan mereka. Jam kosong menjadi peluang aksi itu dilakukan, suara demi suara mulai bersahutan satu sama lain.
Mereka duduk saling berhadapan, Januar sempat melirik ke arah itu, tapi ia hanya mendapati sekelompok anak perempuan yang tampaknya terlalu sibuk tertawa dan melayangkan tatapan penuh tanda tanya dengan buku terbuka, padahal isinya tidak sedang dibaca.
"Pengen banget gue lempar, serius," gumam Januar pada dirinya sendiri.
Idghaf tidak menanggapi, tapi jujur dirinya juga sangat tidak menyukai suara demi suara yang terus menerus menyebut nama itu.
"Lu pada tau alasan si bisu gak masuk?" ujar salah satu gadis dengan lantang.
Tak ada yang langsung menjawab, tapi gelak tawa menyusul setelahnya. Seolah pertanyaan itu bukan pertanyaan, melainkan lelucon yang sudah cukup lucu hanya dengan menyebutkan satu kata saja. Mereka tidak menyebut nama, tidak perlu. Karena semua sudah tahu siapa yang dimaksud.
"Mana ada pembunuh berani masuk ke sekolah."
Keduanya langsung menoleh, menyadari ucapan itu terlontar begitu saja. Januar dengan cepat menatap wajah sahabatnya yang seketika berubah menjadi tak bersahabat, ia tau bahwasannya Idghaf semakin tidak menyukai topik yang sudah ia anggap melewati batas itu.
"Lu bener juga. Lagian, kok bisa tega banget sih bunuh saudara sendiri. Muka doang polos, tapi kelakuan gak jauh beda sama iblis."
"Ngeri banget gak sih, untung banget si bisu gak masuk."
"Lu ngebayangin tubuh lu dipotong-potong terus.."
"Stop ya! Gue juga ogah."
Januar mengepalkan tangannya, menahan sesuatu yang sejak tadi sebenarnya ingin ia lontarkan. "Gue bisa langsung tau ini ulah siapa."
Idghaf masih diam dalam tatapannya, tetapi dari sorot matanya, Januar tahu sahabatnya itu sedang berperang dengan dirinya sendiri. Berusaha untuk menahan emosi yang sedari tadi ia tumpuk.
Mereka tidak tahu apa-apa, tapi berbicara seolah tahu segalanya. Mereka tidak pernah duduk berdampingan dengan Ananta, tidak pernah memperhatikan bagaimana dia berjalan dengan kepala sedikit tertunduk setiap harinya, tidak pernah melihat bagaimana tangannya gemetar saat berusaha untuk bersuara, tidak pernah benar-benar paham, bahwa setiap langkah Ananta selalu diselimuti kehati-hatian yang bukan kepalang, seperti seseorang yang selalu berada di ujung tanduk.