Rasa yang Sama

9 2 6
                                        

"Lo gak bilang sama Ala dulu, Nat?"

Entah sudah berapa kali Tian mempertanyakan hal yang sama kepada Nata.

"Gue bilang kalo udah fix, kok. Lagian, nggak semua hal harus saling tau, kan?"

Tian paham. Meski Nata mengatakan tak masalah kalau dirinya menyukai Ala, tapi temannya itu juga pasti butuh penjelasan lain dari Ala. Walaupun, mengatakannya juga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan hal yang baik.

"Tapi yang salah kan gue, Nat. Ala nggak pernah ngasih gue chance kayak ke lo. Yang kemarin itu, dia pure nolongin gue."

"Nggak ada hubungannya kali, Yan. Udah lah gue lagi gak pengen bahas itu."

"Terserah lo deh kalo gitu. Tapi, yang belakangan nyampe kelas, harus traktir pas istirahat nanti," ucap Tian sebelum berlari meninggalkan Nata yang masih mencuci tangan.

"WOY CURANG!" teriak Nata yang segera menyusul Tian tanpa mengeringkan tangannya terlebih dahulu.

"Traktir gue nanti!"

"Curang banget lo. Mana bisa gitu?" balas Nata sambil terengah-engah.

"Sebenernya, gue lupa bawa duit." Tian menunjukkan senyuman canggungnya.

"Di HP lo gak ada mbanking? Qris?"

"Ada, sih. Tapi..."

"Lo gak mau pake duit yang baru dikirimin bokap lo? Kalo gitu, lo bakal rugi sendiri, Yan."

"Oh iya bener. Harusnya gue foya-foya, ya. Rugi banget gue. Yang ada, ntar dia keenakan nafkahin gundiknya."

"Asal jangan narkoba aja, Yan. Gue gantung lo!"

"Ya nggak dong, Nata sayang. Aduh perhatian banget, sih. Gue kan anak baik."

Nata menanggapi candaan Tian dengan pura-pura muntah. Sedangkan, Ayu yang menyaksikan itu secara diam-diam tidak kuat menahan gemas.

"Nata bisa baikan sama Tian. Tapi, dia masih nggak bisa biasa aja sama gue. Kenapa, ya?" batin Ala.

Perubahan sikap Nata kepadanya memang sangat terasa. Apalagi, setelah ia ketahuan bersama Tian. Namun, Ala bingung harus menjelaskan semuanya dari mana. Terlebih, Nata sendiri tahu kalau ia dan Tian tak terlalu akur sebelumnya.

"Bengong mulu nanti kesambet, La."

"Siapa yang bengong? Gue cuma agak ngantuk aja."

Nata yang sebelumnya sibuk bergurau dengan Tian itu menoleh sekejap ke arah Ala yang tampak tak begitu bersemangat. Namun, ia tak berani bertanya.

"Tapi agak pusing juga, sih. Anter gue minta obat, yuk!"

"Tuh, kan sebenarnya lo sakit. Ayo ke UKS."

Setelah meminta izin kepada Nata, Ayu mengantar Ala ke UKS. Sementara, tatapan Nsta tak lepas dari Ala yang berjalan lemas dengan digambar oleh Ayu.

"Susulih, gih. Kayaknya dia sakit beneran."

"Kenapa gak lo aja?"

"Kalo gue, dia malah makin bete."

Wajah Tian tampak muram. Memang, menerima kenyataan kalau cintanya bertepuk sebelah tangan tak semudah itu. Apalagi, Ala menyukai sahabatnya sendiri.

"Ya udah, kalo Ala belum balik sampai selesai pelajaran pertama, kita jengukin. Berdua."

Dan rencana Nata bukan isapan jempol semata. Karena Ala tak kembali setelah jam pelajaran pertama, ia dan Tian pergi menjenguknya ke UKS. Meskipun, Ayu mengatakan kalau Ala hanya beristirahat sebentar karena sakit kepala.

"Masih sakit gak kepalanya, La? Mau pulang aja? Atau ke dokter?" tanya Nata berturut-turut.

"Nggak apa-apa, kok. Tapi, kayanya mau pulang aja."

"Ayo aku antar."

"Dijemput papa kok nanti. Izin ya, Nat."

"Oke."

Tak ada lagi percakapan di antara mereka saat menunggu Ala dijemput. Apalagi Tian yang hanya berdiri di luar sekat yang memisahkan ranjang di sana.

"Oh, iya. Tas kamu masih di kelas, kan? Aku ambilin dulu, ya."

Padahal, Ala baru saja akan menghubungi Ayu. Namun, Nata sudah terlebih dahulu berlalu dari sana dan meninggalkan Ala berdua bersama Tian.

"Kenapa sampe sakit gini, sih? Lo banyak pikiran, ya?" tanya Tian.

"Nggak. Emang kurang tidur aja makanya drop."

"Ya itu lo banyak pikiran namanya. Mikirin apa, sih?"

"Nggak."

"Ngeyel, ya. Mikirin Nata? Atau mikirin gue?"

"Ngawur! Nggak ada ya, Tian. Lo gimana?"

"Gue? Sehat aja, nih. Khawatir, ya?"

"Harusnya gue gak usah nanya!" balas Ala sewot.

Tian hanya tertawa sebelum merapikan rambut Ala yang berantakan. Mungkin, karena tertidur sebelumnya.

"Kita sebentar lagi lulus, ya. Gak nyangka gue nggak bakal ketemu lo lagi nanti. Bakal kangen gak, ya?"

"Alay banget lo kayak hidup di zaman batu aja. Ada teknologi yang namanya handphone."

"Ya tapi kan gak ketemu lo. Nggak liat rambut lo yang dikuncir itu goyang-goyang kalo jalan. Nggak liat lo ketawa lagi."

"Kita cuma lulus sekolah, Yan. Jangan seakan-akan gue mati besok, deh."

"Ya tapi, kan..."

"Udah, ah. Bokap gue katanya udah nyampe. Ini Nata kok lama, ya?"

"Gue susulin, deh."

Namun, Nata sudah kembali sebelum Tian menyusulnya. Ia juga mengantar Ala menuju mobil ayahnya tanpa percakapan apapun. Sebenarnya, Ala agak sedikit kecewa karena Nata tidak melontarkan kekhawatiran yang sama seperti Tian.

Ala ingin juga mendengar kalau Nata mungkin akan merindukannya jika mereka tidak berkuliah di kampus yang sama. Atau tentang pertemuan mereka yang akan jauh berkurang setelah tiga tahun bersama dan bertemu setiap hari.

***

"Nata kayaknya udah nggak suka gue deh, Ay."

Ala mengajak Ayu menginap hanya untuk mengatakan saja karena sudah terhitung loma kali sejak Ayu datang setengah jam lalu, Ala mengatakan hal itu.

"Stop nethink deh, La. Nanti lo sakit lagi."

"Ih tapi kepikiran. Dia tuh kayak menghindar terus dari gue. Dia juga nggak nanyain gimana kita kalo udah lulus nanti. Nggak kayak--"

Karena terlanjur sadar, Ala akhirnya menghentikan perkataannya.  Semoga saja Ayu tak menyadarinya.

"Kayak siapa?"

"Kok siapa? Maksudnya, nggak kayak orang yang suka sama gue. Gitu. Iya gitu."

"Mungkin dia malu bilangnya, La. Atau fokus aja dulu sama tes nanti. Kan, belum apa-apa juga. Kalo sia ternyata sekampus sama lo, jadinya malah bikin ketawa."

"Iya juga, sih."

Meski begitu, Ala tetap tak bisa berhenti memikirkannya. Bahkan, setelah satu jam film yang mereka tonton berlalu. Fokus Ala masih pada Nata sampai akhirnya tertidur dan meninggalkan Ayu menonton seorang diri.

"Gue tau lo gak nonton dari tadi, La." Ayu bergumam saat melihat sahabatnya itu sudah berbaring di sampingnya.

Setelah mematikan televisi dan lampu di kamar Ala, Ayu juga siap untuk tetidur. Namun, ponsel Ala yang berbunyi membuatnya kembali terduduk.

Siapa yang mengirimi Ala pesan di tengah malam seperti ini? Apalagi, ponsel Ala ternyata berada di sebelahnya.

Niat hati hanya ingin memindahkan ponsel tersebut, ternyata ia tak sengaja membaca pesan yang masuk karena layarnya masih menyala. Ia segera meletakkan ponsel Ala ke atas nakas setelah membacanya.

"La, jangan bilang lo..."

No Status Status [COMPLETED]Where stories live. Discover now