Twenty Three

2.6K 181 0
                                        

Ruangan itu dipenuhi cahaya keemasan dari matahari yang hampir tenggelam. Donghyuck duduk di tepi jendela, pandangannya menerawang ke langit senja yang perlahan memudar menjadi jingga kemerahan. Tangannya bertumpu pada lututnya, dan napasnya teratur, tetapi pikirannya berkecamuk.

Bagaimana jika ia bisa keluar dari sini? Apakah ia akan selamat? Apakah ia masih punya kesempatan bertemu Jaemin? Orang tuanya?

Orang tua…

Hanya memikirkan mereka saja sudah membuat dadanya sesak. Ia tidak boleh mati di sini. Tidak sekarang.

Suara langkah kaki terdengar dari belakangnya, dan tanpa perlu menoleh, Donghyuck sudah tahu siapa itu.

Mark mendekat dan duduk di sebelahnya, gerakannya tenang namun mengancam. Donghyuck tetap diam, berusaha tidak memperlihatkan kegelisahannya.

Tiba-tiba, Mark menekan kepala Donghyuck hingga bersandar ke bahunya bukan dengan kelembutan, melainkan dengan paksa.

Donghyuck mengernyit, refleks ingin melepaskan diri, tetapi tangan Mark mencengkeram kuat, dingin, dan penuh peringatan.

"Diam," ucap Mark dengan suara rendah. Tidak keras, tapi tegas, dan jelas bukan permintaan.

Donghyuck menghela napas pendek, menahan emosi yang mendidih. Melawan hanya akan memperburuk segalanya.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang menekan.

"Apa yang kau rencanakan?" tanya Mark akhirnya, nadanya datar namun penuh kecurigaan.

Donghyuck tidak menjawab.

Mark menggerakkan bahunya sedikit, membuat kepala Donghyuck ikut terguncang. "Aku tanya, Donghyuck."

Masih tak ada respons.

Mark mendengus, lalu menatap lurus ke luar jendela. "Kau pikir bisa kabur dari sini?"

Donghyuck menatap ke depan, rahangnya mengeras.

Mark melanjutkan, suaranya lebih rendah, tapi dingin. "Dengar baik-baik. Sekali lagi aku lihat kau coba-coba keluar tanpa izin, aku tak peduli kau berdarah atau tidak. Aku pastikan kau tak akan bisa jalan selamanya."

Donghyuck mengepalkan tangannya, napasnya mulai berat, tapi ia tetap diam.

Mark menarik napas panjang, memecah keheningan yang menggantung seperti kabut tebal di antara mereka.

"Kau tahu." suaranya tenang namun sarat dengan nada menghakimi, "setiap kali aku melihatmu, aku jadi teringat Haechan."

Tatapannya menerobos keluar jendela, seolah masa lalu ada di balik embun yang mengaburkan pandangan.

"Dia manja. Terlalu lembut. Tak pernah membantah, apalagi menatapku dengan mata sekeras milikmu. Kau berbeda. Terlalu keras kepala. Terlalu penuh kebencian."

Donghyuck tidak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, menatap lantai seakan ingin lenyap dari tempat itu.

Mark tersenyum kecil, nyaris sinis.

"Kau ingin tahu kapan aku sadar bahwa yang tinggal bersamaku di mansion bukan Haechan, tapi kau?" Ia menoleh, menatap Donghyuck dari sudut matanya. "Sejak awal."

Diam masih menjadi satu-satunya jawaban. Tapi Mark tidak butuh jawaban yang ia butuhkan hanya pendengar.

"Kau membuat kesalahan sejak kali pertama kita bicara lewat telepon. Kau menutup panggilan sebelum aku selesai bicara." Ia tertawa pelan, penuh ejekan. "Haechan tidak akan pernah berani melakukan itu. Tidak padaku."

Donghyuck tetap tak bergeming. Matanya kosong. Napasnya tenang. Tapi ada sesuatu yang perlahan membeku dalam dirinya.

Mark melanjutkan dengan nada ringan, seperti sedang menceritakan lelucon murahan.

"Kau juga selalu memanggilku dengan nama. Datar. Dingin. Haechan tak pernah seperti itu. Dia selalu pakai panggilan manja. Suaranya lembut. Kau bahkan tidak tahu cara memalsukan itu."

Tatapannya berubah tajam.

"Tapi yang paling menyebalkan yang paling menjijikkan adalah ketika kau menolak ciumanku malam itu. "Sentuhan pun kau hindari, seperti aku ini penyakit. Haechan tidak pernah menolak. Dia tahu tempatnya. Dia tahu siapa yang memegang kendali. Tidak seperti kau."

Donghyuck memejamkan mata, seolah ingin menutup dirinya dari setiap kata yang memuakkan itu. Tapi Mark belum selesai.

"Dan saat kau menembak—hah, itu puncaknya." Suaranya merendah, penuh ketertarikan yang mengganggu. "Haechan bahkan tak pernah menyentuh senjata. Tidak tahu cara memegangnya. Tapi kau kau menembak tanpa ragu. Seolah nyawa bukan apa-apa."

Mark mendekat. Ia mengulurkan tangan dan mengusap kepala Donghyuck perlahan, seperti mengelus hewan peliharaan yang baru dijinakkan.

"Kau bodoh, Donghyuck." Suaranya rendah dan kejam. "Kalau saja kau sedikit lebih pintar, mungkin semua ini takkan berakhir begitu cepat. Tapi kau terlalu ceroboh. Terlalu jujur dalam kebencianmu."

Donghyuck tidak bergerak. Ia hanya diam, membiarkan kata-kata itu menamparnya satu per satu, membiarkannya menusuk dan mengendap dalam kesadarannya yang mulai lelah.

Mark terus berbicara. Tentang Haechan. Tentang masa lalu. Tentang dirinya sendiri, seolah ia adalah pusat dunia. Tapi bagi Donghyuck, suaranya kini tak lebih dari dengung samar yang menyebalkan seperti nyamuk di ruangan gelap.

Tubuhnya mulai berat. Matanya mengabur. Bukan karena lelah, tapi karena bosan, muak dengan semua pertunjukan manipulatif ini.

Mark akhirnya berhenti bicara. Ia memandangi wajah Donghyuck yang mulai tertidur, tenang namun keras, seperti batu yang tak lagi peduli dihujani ombak.

Ia menghela napas, lalu menatap jendela yang mulai dipenuhi embun.

"Lucu, ya," gumamnya pelan. "Seseorang datang dengan wajah yang kita kenal, dan kita langsung merasa berhak memilikinya."

Donghyuck tidak mendengar. Ia sudah terlelap.

Mark pun mengangkat tubuh Donghyuck dengan hati-hati ke atas kasur, menyelimutinya seperti memperlakukan sesuatu yang rapuh, padahal ia sendiri adalah ancaman.

Sebelum meninggalkan kamar, ia membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Donghyuck.

"Tidurlah dengan tenang malam ini, karena malam berikutnya aku tak menjamin kau bisa tidur selelap ini lagi."

At The End Of The Chain || MARKHYUCKWhere stories live. Discover now