Prolog

709 89 20
                                        


Catatan harian, Rebecca. 28 Januari 1979

Aku lelah! Aku capek menghadapi prajurit yang bahkan tak ingin menatapku! Bukan karena aku ingin ditatap, oke? Aku hanya ingin... dia berbicara padaku.

Setidaknya tidak hanya diam, kaku, berdiri tegap dengan pandangan lurus! Aku ingin prajurit yang mengawal ini setidaknya menjawab dengan senyuman saat aku berkata, kamu mau muffin? Tapi dia malah diam bergeming, seolah ada bom yang akan meledak di bawah kakinya!

Crap. Aku tau aku salah dari awal. Aku seharusnya tidak meminta pada Ayah untuk menugaskannya sebagai cangkang. Oke, aku akui, aku memang tak ingin diganggu dalam perjalanan ini. Aku tak ingin ada prajurit yang mengajakku bicara tentang betapa dunia luar begitu keras untuk dihadapi, seperti Namara. 

Dia prajurit yang paling buruk. Kerjaannya selalu bicara tanpa henti. Daun telingaku hampir layu dibuatnya. Oleh sebab itu aku meminta prajurit yang seperti cangkang. Cangkang yang besar dan kuat! Tak perlu banyak bicara, dia selalu ada di setiap aku berjalan, dan selalu siap menangkis serangan dari luar, melindungiku.

Itu mauku... sebelumnya. 

Sekarang, darahku mendidih setiap kali melihat prajurit wanita ini hanya diam saat aku bertanya banyak hal. Aku yakin, dia tidak bisu. Sebelum kami pergi ke pulau kecil indah ini, dia berkata pada Ayah dengan lantang, "Siap, komandan! Aku akan menjaga Nona Rebecca dengan nyawaku." Aku mendengar dengan jelas, dia tidak bisu sama sekali. 

Pena itu terhenti menulis. Anak dari komandan Armstrong ini sepertinya sangat kesal dengan apa yang dia hadapi siang tadi. Jelas dia melihat wajah si prajurit sedikit lelah, keringatnya terlihat lebih banyak dari biasanya, terutama di bagian leher. Saat Rebecca menyentuh dahi sang prajurit, ternyata suhu tubuh prajurit sangat panas. Namun, saat ditanya apakah dia demam atau tidak, dan istirahatlah, sang prajurit hanya menatapnya dengan diam. 

Tak berbicara sama sekali. 

Dia tetap berdiri, menunggunya di dekat pintu restoran. Saat itu, Rebecca ada pertemuan dengan anak menteri di Pulau Orkney ini, Larch Lowell, calon tunangannya.

Amarah belum surut, sambil bersandar di pinggiran kasur seraya menikmati angin malam dari jendela terbuka, Becca menulis kembali catatan hariannya.

Siapa namanya pun aku belum mengetahuinya. Besok akan aku tanya, atau sekarang saja? Apa dia masih sakit? Oh? Apa dia sakit malaria!? Artinya, dia akan mati besok!? 

Buku itu terbiarkan, Becca terkejut oleh dugaannya sendiri. "Apa dia baik-baik saja?" 

Becca menatap pintu, menduga-duga jika sang prajurit belum beranjak dari tugasnya. Karena terlalu sibuk melimpahkan emosi di buku, Becca tak mendengar langkah yang beranjak dari sisi pintu itu. 'Dia masih di sini, kan?' Lirih sekali suaranya, Becca meletakkan buku harian tebal itu di atas kasur. Dia perlahan turun, menapak lantai kayu. Kakinya yang putih pelan-pelan melangkah, entah kenapa dia merasa takut suara langkahnya terdengar. 

Saat berada di depan pintu, dia menggigit sedikit bibir dalamnya. Lagi-lagi, debaran ini terasa. Becca tak tau apa arti dari perasaan yang mengalir ini. Dia tak pernah mempertanyakan, Becca hanya merasakan. Lalu, ceklek. Dia memutar kenop pintu itu. Perlahan, Becca membuka pintunya dan kepalanya slow motion mengintip ke sisi samping pintu. Tempat si prajurit berdiri. 

Dan. 

Tergagap.

Prajurit itu menoleh, menatapnya lurus ke mata itu. Semua prajurit yang dia temui tak ada yang berani menatapnya seperti ini. Namun wanita ini... berbeda.

Becca terbeku, dia tak mempersiapkan pertanyaan. Dia hanya membalas tatapan itu dengan mulut yang sibuk bergerak mencari kata yang pas untuk dikatakan. Hingga, "Kamu sudah makan?" Basa-basi lainnya yang tak mungkin akan dijawab. 

Benar saja, prajurit itu langsung mengalihkan tatapannya ke depan, mengabaikan pertanyaan itu. 

Marah kembali, darah mendidih. Tatapan Becca juga tampak, what the hell? Dia lagi-lagi mengabaikanku? Dengan cepat Becca masuk dan menutup pintu itu dengan kasar. Dia bersandar di balik pintu itu dengan emosinya yang tak stabil sedikit pun, dadanya naik turun penuh gemuruh. Becca tak terima dia diabaikan terus menerus. 

Tok tok tok. 

Pintu diketuk, Becca langsung membukanya. 

Alisnya terangkat, seolah berharap ada satu rentetan kalimat yang akan dia dengar. Tapi ternyata, si prajurit wanita ini masuk, menutup jendela, memastikan angin dingin tak mengganggu tidur anak komandan Armstrong. Setelah itu, dia pergi. 

Eits. Tapi tak semudah itu. 

Becca langsung menutup pintu, tak membiarkan prajurit ini keluar. Dia sudah penat diabaikan terus selama seminggu. Becca butuh interaksi, setidaknya singkat, tak masalah. Wanita ini... membuatku begini.

Prajurit itu tak memberi ekspresi terkejut saat pintu itu ditutup, wajahnya aduhai tenang sekali. 

"Aku semula memang butuh prajurit seperti cangkang, melindungiku tanpa berbicara sedikit pun. Tapi aku tidak bisa diabaikan terus sampai sekarang. Kamu.." Dia tak menaikkan nada bicaranya, Becca sebenarnya kewalahan dengan perasaan di tengah dadanya. Degup jantung itu sejak tadi menari seru ketika dia menutup pintu ini. "Kamu..." Dia tertegun, panas. "... harus menjawab pertanyaanku mulai sekarang. Kamu tidak bisu, kan?" 

Tatapan sang prajurit tak teralihkan ke tempat lain, hanya pada Becca. Juga, seperti biasa. Dia tetap tak menjawab. 

"Aku akan menghukummu jika tidak menjawab pertanyaanku. Kamu tau kalau aku punya kewenangan itu, kan?"

Berkedip sekali mata sang prajurit. Dia menghela napas ringan. Tapi tetap tak menanggapi perkataan itu, dia hanya mendengarkan. 

Becca mendekat, lupa dengan dugaan malaria sebelumnya. Dia hanya mengikuti insting, kakinya ingin lebih dekat. Saat jarak mereka hanya sekitar sepuluh senti, Becca yang sedikit mendongak saat melihat prajurit ini, dia berkata dengan kegugupan yang tiada tara, "Apa mulai sekarang aku tak perlu seperti ini lagi?" Mengemis agar kamu bicara padaku?

Sang prajurit paham pertanyaan itu. Amarah ini, permintaan ini, selalu menjadi topik saat mereka berdua. Baik di balik bangunan tua yang telah roboh, di gereja, ataupun di kamar seperti sekarang. Anak komandan Armstrong selalu memintanya untuk berbicara. Tapi..

Si prajurit akhirnya mengalihkan tatapannya. Dia masih berdiri tegap, tatapannya ke bawah. Jarak mereka terlalu dekat. Terlebih lagi, seorang prajurit tak boleh mundur sebelum diberi perintah. Dia harus tetap di tempat, seperti sekarang. 

"Kamu ingin aku menghukummu?" Suaranya bergetar, perasaan Becca terasa menggebu-gebu saat ini. Dia baru saja menatap bibir sang prajurit, hampir saja khilaf untuk mendekat.

Deg. Tatapannya dibalas lagi. Becca diam, detak jantungnya terasa lebih kencang. 

Namun si prajurit ini hanya berkata, "Aku ditugaskan hanya untuk menjadi cangkang besar sesuai yang Anda inginkan, Nona. Tidak lebih. Jadi aku mohon, Nona Rebecca. Biarkan aku menjalani tugas ini dengan semestinya. Jangan paksa aku-" Diam, menatap lurus ke depan.

Freen tetap bergeming, tak menjauh, meski sekarang...

... Nona Rebecca mencium bibirnya.























The Big Shell - FreenBeckyWhere stories live. Discover now