Prolog

23 10 0
                                        

Arwin terlihat terburu-buru berjalan menuju orangtuanya yang masih berada di ruang makan.

Jika ibunya tidak memberitahu akan ada sesuatu yang ingin disampaikan ayahnya, mungkin Arwin sudah berada di jalan untuk menghadiri pesta Boy— teman kuliahnya yang sering mengatainya miskin hanya karena postur tubuhnya yang kecil, kurus dan kadang-kadang diantar ayahnya menggunakan motor matik butut kesayangan ayahnya.

"Gue nggak bakal gitu lagi kalau lo mau hadir ke party gue besok, jam delapan."

Kata-kata itu sudah ribuan kali menari-nari di pikiran Arwin, mulai tadi sore sampai sekarang. Tersisa 30 menit lagi sebelum Arwin sampai di sebuah tempat hiburan malam milik keluarga Boy.

"Mau ngomong apa, Ma, Bah?" Arwin tidak sabar ingin tahu, sampai memutuskan tidak ingin duduk padahal ibunya sudah menarik kursi untuk ia duduki.

"Duduk dulu."

Arwin menggeleng. Kaki kanannya menghentak di atas ubin karena tidak sabar. Jika Arwin telat datang seperti yang dikatakan pria dengan rambut di cat coklat itu, mungkin Arwin harus rela akan menjadi bulan-bulanan Boy di kampus sampai keajaiban datang— Boy menemukan orang lain untuk dirundung.

"Abah sama Mama ada rencana program bayi tabung lagi. Bertahun-tahun lalu kamu pernah bilang mau adik, masih ingat?"

Arwin ternganga. Bahkan meminta diulang lagi kata-kata yang diucapkan ayahnya karena merasa ini adalah hari terburuk yang pernah ia lalui di dunia.

"Abah sama Mama mau program bayi tabung lagi. Mungkin bakal di Jakarta, nggak harus di luar negeri kayak dapetin kamu."

Arwin bungkam karena luar biasa terkejut. Ia menebak-nebak, apakah ini kado yang disiapkan orangtuanya untuk ulangtahun ke 21? Alih-alih mengabulkan permintaannya yang ingin dihadiahi saham perusahaan camilan kesukaannya.

"Wi, Wiwi. Kenapa?" Ibunya yang duduk di samping Arwin, sigap berdiri untuk membantu anaknya yang kehilangan keseimbangan.

"Ma, beneran mau program?" Arwin mencoba memastikan ibunya lagi.

"Iya, Wi. Kamu 'kan dulu pengen adik, tapi waktu itu Mama capek banget harus ikut program-program bayi tabung, belum lagi Mama harus baring di tempat tidur. Kalau Mama sama abah nurutin permintaan Wiwi waktu itu, mungkin Wiwi bakal kurang diperhatikan dan kami nggak mau itu terjadi. Dapetin kamu itu susah banget, Wi," kata Ibunya sungguh-sungguh.

Arwin ingin menolak dan melepas genggaman tangan ibunya dari tangannya, tapi setelah melihat sepasang mata ibunya mengembun, Arwin urung lakukan.

"Apa nggak bisa kita aja, Ma? Aku lebih suka mama nggak kenapa-kenapa. Batalin aja, Ma, Bah. Anggap...anggap aja kalau aku nggak pernah bilang gitu, ya?"

Ibunya hanya diam saja sambil menatap Arwin yang sudah mulai panik.

Bertepatan dengan Arwin hendak membuka mulut—mencoba merengek pada ibunya, ponselnya berdering dengan nyaring dari saku celana jeansnya. Arwin bisa menebak siapa yang menelepon dan mencoba mengingatkannya, tetapi untuk saat ini ia kesampingkan dulu karena tidak ingin adik.

"Kita bahas nanti. Kamu mau pergi 'kan?" Suara ayahnya memecah keheningan yang terjadi.

"Kalau Wiwi tetap pergi, pulangnya jangan sampai lewat jam sepuluh," kata ibunya yang akhirnya merelakan anak semata wayangnya pergi, padahal hatinya enggan melepas.

Arwin melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia sudah menghabiskan waktu lima belas menit untuk bicara. Tidak ingin membuang waktu lagi, ia segera pergi setelah mengecup pipi ibu dan ayahnya secara bergantian.

Dalam perjalanan menuju pesta, hujan tiba-tiba datang, membuat Arwin susah melihat ke arah jalanan, ia juga sedikit kesal ketika mobilnya tidak bisa bergerak cepat seperti kehendaknya padahal jalanan yang dilalui tidak banyak orang melintas.

Tidak peduli dengan derasnya hujan dan ia sedikit abai akan keselamatannya sendiri, Arwin menambah kecepatan, berharap ia tidak telat datang.

Irama jantung Arwin melambat dan perlahan bergerak seperti biasa saat mobil memasuki pelataran di mana tempat party Boy terselenggara.

Bersyukur, petugas Valet sudah berdiri menunggu kedatangan tamu sehingga Arwin tidak perlu pusing mencari parkiran. Begitu Arwin turun, sepasang matanya tidak sengaja melihat sosok Boy berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada, di sampingnya ada Syakirah— teman yang selalu membelanya dari bully sekaligus perempuan yang ditaksir Boy sementara di belakang Syakirah, ada dua teman Boy sedang menatapnya dengan memasang ekspresi remeh.

"Telat dua belas menit, Bro."

Arwin pasrah. Percuma membela diri dengan memberikan alasan yang tentu tidak akan diterima Boy Bahuwirya Harjasa.

"Kamu jangan macam-macam ya, Hu, dia temenku," peringat Syakirah.

Boy hendak menyentuh dagu Syakirah. Akan tetapi langsung ditepis oleh perempuan itu. "Tenang Sya, gue nggak bakal bikin pesta gue hancur gara-gara dia."

Pandangan Arwin langsung turun ke bawah ketika Boy menunjuk tepat ke matanya.

"Win yuk," Syakirah mengulurkan satu tangannya untuk meraih tangan Arwin. Akan tetapi suara Boy yang menyuruh Syakirah masuk, membuat perempuan itu mau tidak mau meninggalkan keduanya dengan perasaan tidak rela.

"Bro, ambilin wine."

"Maaf Boy, aku.. aku nggak minum."

Boy berdecak. "Udah telat, nolak minum, mau lo apa?" Nadanya memang terdengar biasa-biasa saja, tapi Arwin tahu jika Boy sedang menahan emosi.

"Aku minta maaf. Boy."

"Shit. Gue nggak butuh kata-kata itu. Lo tamu gue, udah seharusnya sebagai tamu nikmatin pesta yang gue suguhin. Bro, mana?" Tanya Boy tak sabaran.

Bro yang dipanggil Boy atau yang dikenal di kalangan anak-anak jurusan bisnis Felix itu  membawakan minuman berwarna coklat, lalu ia serahkan pada Arwin.

"Gue faham lo takut mabuk, makanya gue kasih teh rasa leci. Bro Win, situ masih SD? Wine satu gelas nggak bikin mabuk." Katanya penuh ejekan.

Wajah Arwin tampak bimbang, antara ingin jujur kenapa menolak wine atau ia harus mencari alasan supaya harga dirinya tidak dihancurkan oleh anak Respati Harjasa, pengusaha makanan yang sudah memiliki puluhan cabang soto lamongan di mana-mana.

"Good." Respons Boy ketika Arwin mengembalikan gelas yang sudah ia habiskan pada Felix.
"Lo boleh pergi sekarang."

"Tapi pestanya?"

"Khusus buat orang telat, cukup dikasih minum. Silakan pergi. Pak, bawain mobil dia," suruh Boy membuat orang yang bertugas menjaga di pelataran tempat hiburan malam itu berbalik, memenuhi perintahnya.

Begitu badan Boy dan Felix sudah berbalik masuk ke tempat pesta terselenggara, Arwin mengelus dadanya pelan. Ia merasa bersyukur, bisa pulang sesuai atau sebelum jam yang diingatkan ibunya, ia juga tidak harus merasa kecil hati ketika pandangan orang-orang melihat penuh ketidaksukaan padanya.

Arwin tersenyum dan sedikit mengangguk ketika petugas turun dari mobil dan mempersilakannya masuk. Tidak mau membuang waktu, ia bergegas masuk dan keluar dari area tempat hiburan malam.

Mungkin sekitar lima atau enam menit berkendara, hujan kembali turun, tetapi tidak selebat sebelumnya.

Bunyi klakson terdengar serta lampu sorot beberapa kali menyala, membuat pasang mata Arwin melihat ke arah spion tengah. Ia hendak mengambil jalur kiri untuk mendahulukan truck angkutan minyak berwarna merah putih yang terlihat tidak sabaran itu, tetapi sialnya ia malah ditabrak dari belakang.

Sempat terpikir ingin membanting stir ke kiri, tetapi tangannya yang gemetar dan otaknya yang sudah tidak dapat bekerja secara normal, malah membanting ke kanan alhasil ia terlibat musibah menyedihkan sampai membuatnya tidak sadarkan diri.

Terimakasih sudah membaca
#23-07-2025- 27 Muh. 1447H

Falling Where stories live. Discover now