Jeruji Langit

6 4 3
                                        

Aku lahir di atas dahan yang tinggi, di sanalah angin bersuara paling nyaring, dan matahari paling sering tersenyum padaku. Segalanya dulu… hidup. Hujan turun tak sekadar membasahi, tapi mencium daun-daun dan menyanyikan lagu tidur. Tanah di bawah sana penuh bisik dan jejak. Aku dan yang lain melompat dari ranting ke ranting, menjerit, bercanda, saling rebut mangga yang belum matang. Kami hidup seperti itu—riuh dan sederhana, tak ada dinding, tak ada pagar, hanya langit dan akar, dan pelukan hangat dari pepohonan tua yang tak pernah mengusir siapa pun.

Tapi suatu pagi, bumi mulai bergidik. Suara burung tak terdengar. Hanya suara raungan besar, gemuruh aneh dari makhluk yang bukan milik hutan, mereka datang… bukan dengan mata, tapi dengan gigi besi yang memakan tanah. Tangan mereka tak menggenggam, tapi mencabik. Mereka tidak melompat seperti aku. Mereka berjalan dengan bunyi berat dan bau yang membuat daun-daun gugur sebelum waktunya.

Aku memanggil saudara-saudaraku. Satu demi satu mereka menghilang, ada yang tertelan suara, ada yang lari dan tak pernah kembali. Dahan tempat aku lahir retak, lalu patah, lalu tak ada. Rumahku… tempat itu dulu bernyanyi, sekarang hanya diam dan debu.

Aku berlari sejauh yang bisa,perutku menjerit, tapi lebih nyaring lagi suara di kepalaku.

"Di mana tempat pulang?"

Aku berjalan ke arah bau yang tidak kukenal. Cahaya di sana lebih terang, menusuk mata, dan tak ada pohon untuk bersembunyi. Makhluk-makhluk dua kaki itu menatapku, tapi bukan seperti ibu menatap anaknya. Mata mereka tajam. Suara mereka kasar. Lalu batu dilempar. Satu, dua, tiga. Aku berteriak—bukan untuk melawan, tapi untuk bertanya: Kenapa?

Aku tidak mengerti.

Tangan-tangan mereka mencengkeram tubuhku, tak seperti angin, mereka tidak memeluk. Mereka menyeret.

Sekarang aku duduk di balik jeruji. Langitku bukan biru, tapi atap. Rantingku bukan dahan, tapi besi. Mereka datang setiap hari, menatapku seperti aku ini cerita yang bisa dibaca lalu dilupakan. Mereka menunjuk, tertawa. Beberapa membawa makanan aneh, bukan buah yang kukenal.

Aku coba menjerit lagi, mungkin suara akan sampai ke pohon-pohon yang dulu memelukku. Tapi suara itu hanya memantul kembali padaku, tanpa jawaban. Mereka bilang aku aman di sini, tapi jika aman berarti tak bisa memanjat, tak bisa lari, tak bisa mendengar suara hutan… maka aku tak ingin aman.

Aku hanya ingin pulang, tapi aku sudah lupa bagaimana rupa pulang.

Kadang aku bermimpi tentang dahan itu, tentang suara saudara-saudaraku. Tapi saat bangun, hanya ada besi dan tatapan yang tak kupahami.

Apa salahku?

Kenapa mereka membakar rumahku, lalu mengurungku karena aku tak punya rumah?

Aku duduk, diam. Tubuhku mulai belajar pasrah, tapi hatiku tidak. Tidak akan pernah.

Karena tempat itu pernah bernyanyi, dan aku masih mengingat lagunya.

A whisper of goodbyeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora