Extra Part

659 46 8
                                        

Angin malam itu berhembus seperti ingin menebas apa pun yang menghalangi. Butiran hujan memukuli setiap jendela yang tertutup seolah tidak akan ada ampun.

Kelopak mata Jisoo menekan rapat dalam gertakan rahangnya. Gumpalan keringatnya memberondong keluar.

"Sooyaa, tetap di tempatmu. Pegangan!"

Jisoo menggenggam sabuk pengamannya kuat-kuat. Dia menggigit bibir. Berpikir keras haruskah dia mengatakan ide bodohnya, meski dia sendiri sudah melepas sabuk pengamannya.

Jisoo bergerak gelisah merintih di ranjangnya.

"Eomma, Appa, lompat saja!" Dia menatap ke depan. "Truknya masih jauh, kita punya banyak waktu."

Jisoo berlutut mendekat pada ayah dan ibunya. "Eomma, Appa, mulai sekarang aku tidak akan membantah sama sekali. Begitu kita sampai rumah nanti, aku akan berubah. Aku tidak akan malu dan memeluk Appa dan Eomma setiap hari. Tapi sekarang kita harus melompat, tolong——"

Jisoo mendongak menumpahkan air mata menatap wajah ibunya. Tangannya bisa merasakan sentuhan ibunya.

Wajah Jisoo semakin mengerut dalam tangisan melihat senyum ibunya. "Eomma! Jangan tersenyum!"

Jisoo menangis semakin keras merasakan tangan ayahnya. "Kenapa mengusap kepalaku?! Aku tidak mau!"

Jisoo memandang atap kamarnya tanpa ada yang bergerak selain lelehan air matanya.

Kepakan angin yang menghempas jendela membuatnya menoleh. Dalam pikirannya yang sedang dramatis, itu seperti mengatakan jangan lupa bernafas.

Lampu meja di kamar Jennie mati-hidup berulang kali. Seperti ketika di hari pemakaman ayah dan ibunya, malam ini pun dia masih mengingat malam yang menyakitkan itu. Peristiwa yang semakin menyakitkan ketika dikenang, anehnya saat itu dia begitu memaksa mereka seakan itu satu-satunya hidupnya.

Di malam yang akan berhiaskan huru-hara waktu itu Jennie wara-wiri demi membawa makanan ke meja makan.

"Eomma sudah menelepon Appa? Tuan rumah harus ada di rumah bahkan sebelum tamunya datang. Jangan bilang Appa terlambat!" Jennie tak menunggu jawaban ibunya.

"Appa tidak akan terlambat," balas Yoona tanpa melihat Jennie di mana.

Jennie ingat saat itu tidak peduli apa pun, bahkan pada keringat ibunya. Dia hanya ingin secara resmi segera bertunangan.

Jennie kembali dari meja makan. Dia harus menunggu karena ibunya masih mencicipi rasa supnya.

Yoona memberikan sesendok kuah galbitang itu pada Jennie. "Kau benar-benar seperti bos kami hari ini. Memasak semua ini membuat Eomma merasa sedang membantu bos Eomma mengesankan bosnya."

Jennie mendesah kesal. "Eomma keberatan? Apa aku meminta Eomma melakukan semuanya sendiri? Kenapa malah meminta Ahjumma tidak membantu?"

"Memangnya putri Ahjumma yang mengundang keluarga kekasihnya ke sini? Apa sangat sulit langsung mengucapkan terima kasih? Eomma tau sebenarnya kau senang."

Jennie berwajah makin masam, menggembungkan pipinya karena itu memang benar.

"Eomma, suruh putri sulung Eomma itu pulang tepat waktu! Dia sudah menampar Taehyung waktu itu. Putri sulung yang selalu Eomma bangga-banggakan itu, sangat kasar seperti itu! Begitulah aslinya dia."

"Kau memang anak yang nakal. Itu hanya berarti kakakmu peduli padamu. Kau benar-benar sangat menginginkan ini?"

"Ahhh, Eomma!" Jennie mengeluh memanjang. "Dia hanya pemuda baik yang ingin menyenangkan orang tuanya. Dia begitu karena diminta orang tuanya."

Before◁◁PROblem ✓Where stories live. Discover now