Pintu ruang kerja kembali diketuk, membuat pemilik ruangan yang sibuk memelototi tumpukan dokumen itu mendongak sejenak. Heinz berdehem, seolah martabatnya bisa terdengar hanya dari satu tarikan napas. Aku mencibir, tentu saja.
“Masuk.”
Seseorang melangkah masuk dengan gugup, membungkuk cepat sebagai bentuk penghormatan. Ia mengusap keringat di dahinya dengan saputangan lusuh, lalu menatap Heinz penuh ragu.
[Louis || Kepala Pelayan (???)
Affection: 30%]
Whoa. Angka tertinggi sejauh ini, Heinz sayang. Selamat ya.
“Maafkan saya, Yang Mulia. Tuan Muda berhasil melarikan diri dari penjaranya,” ucap Louis, menunduk dalam, sesekali mengintip reaksi sang Duke dari bawah rambutnya.
‘Ah. Aku lupa.’ Heinz mendesah dalam hati, memandangi meja penuh dokumen yang jelas-jelas tidak disentuh.
‘Pantas saja tidak ada yang ngerjain laporan mingguan ini…’
Aku mendelik. Dari Budi sampai Heinz asli, tak ada satupun yang tahu artinya tanggung jawab. Tapi sebelum aku sempat menyuarakan protes, suara keras kembali menggema di ruangan.
Seseorang menerobos masuk dengan langkah lebar dan penuh amarah. Pedangnya langsung mengarah ke leher Heinz.
“Tuan Muda!” teriak Louis panik, nyaris tersandung karpet ketika mencoba menahan laju sang penyerang.
Sayang! Aku ikut menjerit—sok peduli.
Ashere de Agrete berdiri di tengah ruangan. Tubuhnya tinggi dan tegap, bayangannya menutupi separuh cahaya dari jendela. Dalam keadaan biasa, ia tampak seperti pangeran ideal dari negeri dongeng—wajah tampan dengan tulang pipi tegas, rahang yang kuat, dan mata violet setajam belati. Sayang, yang ini bukan dongeng.
Kemejanya compang-camping, penuh sobekan yang memperlihatkan kulit putih penuh luka. Noda darah mengering di beberapa bagian, dan bekas cambukan membentuk peta kehancuran di punggung dan lengannya.
[Ashere || Duke Kecil (???)
Affection: -10%]
Wah. Kamu luar biasa sayang.
Aku mencatat dalam hati.
‘Diam.’ Heinz memperingatiku, dalam hati, tentu saja. Wajahnya tetap datar meski ujung pedang sudah menyentuh kulitnya. Mengkhianati keringat dingin yang perlahan muncul di punggungnya.
“Aku minta persetujuanmu. Sukarela atau tidak,” kata Ashere tajam, suaranya serak namun penuh tekanan.
Heinz tak bergeming. Ia memperhatikan postur tubuh Ashere—keras, tapi goyah. Tidak ada aura mematikan. Tidak ada niat sungguhan untuk membunuh. Hanya ancaman. Permintaan.
Lalu, ia menyeringai. Tipis.
“Oke,” ucapnya santai.
Aku terdiam sejenak. Lalu tersenyum sinis.
Bukankah pagi ini ada seseorang yang bilang biarkan saja aku mati? Kenapa setuju?
Ashere mengerutkan dahi. Tak percaya.
“Hah?”
“Apa?” balas Heinz ketus. Tatapannya beralih, menyapu tubuh putranya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia mendengus.
“Bersihkan dulu luka-lukamu. Aku benci bau darah.”
Ashere tetap diam. Tatapannya tajam, meneliti sang ayah seakan mencoba membaca pikirannya.
___
Beberapa waktu kemudian, Ashere duduk di atas sofa panjang, bertelanjang dada. Louis dengan sabar membersihkan dan membalut luka-lukanya, tangan tuanya gemetar setiap kali menyentuh bagian yang tampak terlalu parah. Di sisi lain ruangan, Heinz berdiri di depan jendela, menatap keluar seolah ada hal penting di balik kabut musim dingin.
Ashere memperhatikan dengan tajam
‘Apa rencananya kali ini?’
Agrete adalah tanah utara yang dingin dan tak ramah, berdiri sebagai benteng terakhir Velmora sebelum wilayah Veynar. Dan di paling ujungnya, terdapat Lanwick, wilayah rawan yang telah bertahun-tahun menjadi rebutan.
Untuk Heinz, ini bukan konflik pertama. Dan jika bisa memilih, tentu ia lebih suka mengorbankan beberapa prajurit untuk meraih kemenangan.
“Kenapa aku harus menyerahkan Lanwick?” tanya Heinz akhirnya, tanpa menoleh.
Ashere mengangkat wajahnya.
“Salah satu tahanan itu bawahanku. Dia punya informasi penting. Tak ada ruginya menjadikan Lanwick sebagai jaminan sementara. Aku akan mengambilnya kembali.”
“Itu tidak menjawab pertanyaanku,” Heinz memutar badan, menatap lurus ke arah putranya. “Apa untungnya untukku?”
Ashere tak menunduk. Tatapannya dingin. Tajam.
“Nyawamu.”
Ruangan langsung terasa lebih dingin. Bahkan Louis berhenti bergerak sejenak.
Heinz menegakkan punggungnya. Matanya mengerut.
‘Anak kurang ajar.’
Heinz tak menunjukkan kejengkelannya. Justru kembali duduk di kursinya, lalu berkata ringan
“Baik. Kalau begitu, selesaikan masalah ini untukku.”
'Terserah, apapun itu aku tetap harus diuntungkan'
Menatap Ashere, Heinz tersenyum ringan
Aku mendelik. Ya ampun. Lempar tugas ke anak sendiri?
Tipikal.
[Ikut bersama Ashere menyelesaikan konflik di perbatasan!
Waktu: 3 minggu
Hadiah: Affection +10
Hukuman: Mati]
Semangat ya, Heinz sayang! Ini bisa jadi awal yang baik untuk hubungan kalian. Atau akhir.
Heinz mengatupkan rahangnya. Tapi sebelum bisa bicara lagi, Ashere sudah bangkit.
“Saya akan pergi besok.”
“Tidak. Lusa. Aku ikut.”
Ashere mengernyit.
“Lusa. Aku ikut,” ulang Heinz, kali ini lebih tajam.
“Besok,” balas Ashere, nada suaranya keras kepala.
Heinz tak menjawab. Hanya menunduk sedikit, menatap luka cambukan yang belum sempat tertutup. Matanya menyipit.
“Beristirahatlah dulu,” katanya pelan.
Ashere terdiam. Lama. Lalu perlahan mengangguk.
___
YOU ARE READING
Abstract Version
FantasyIni versi abal", dirombak ulang di book baru. Feel free yang mau baca. Kalo tertarik sama yang asli bisa cek profil :>
