Pagi itu, Jake bangun dengan perasaan hampa. Biasanya, ketika ia membuka mata, Heeseung akan ada di sampingnya—entah itu masih tertidur dengan napas teratur atau sudah sibuk bersiap-siap untuk kerja. Tapi kali ini, tempat tidur di sebelahnya kosong dan dingin.
Malam tadi, mereka tidur tanpa banyak bicara. Tidak ada ciuman selamat malam, tidak ada pelukan seperti biasanya. Dan pagi ini, saat Jake bangun, Heeseung sudah pergi tanpa meninggalkan pesan seperti biasa.
Jake menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang mulai muncul di dadanya. Ia tahu Heeseung masih kecewa, dan itu sepenuhnya salahnya.
—
Di kantor, Heeseung bekerja lebih keras dari biasanya. Ia menyibukkan diri dengan laporan-laporan dan tenggelam dalam pekerjaannya, seolah itu bisa mengalihkan pikirannya dari perasaan yang mengganggunya sejak semalam.
Saat istirahat makan siang, Jay—salah satu sahabatnya sekaligus rekan kerja—menghampirinya dengan membawa dua kaleng kopi.
"Kau kelihatan stres," kata Jay sambil meletakkan salah satu kopi di meja Heeseung.
Heeseung menghela napas, lalu mengambil kopi itu dan membukanya. "Aku hanya... sedang tidak ingin pulang lebih awal hari ini."
Jay mengangkat alis. "Bertengkar dengan Jake?"
Heeseung tidak langsung menjawab, hanya menatap kaleng kopi di tangannya. "Aku tidak marah padanya, Jay. Aku hanya... kecewa."
Jay mengangguk, mengerti. "Jadi, kau mau lembur?"
Heeseung mengangguk. "Ya. Bahkan mungkin menginap di rumahmu malam ini, kalau kau tidak keberatan."
Jay menepuk bahu Heeseung. "Tentu. Kapan pun kau butuh tempat."
—
Sementara itu, di apartemen, Jake merasa semakin gelisah. Sudah siang dan Heeseung masih belum menghubunginya sama sekali. Biasanya, meskipun sedang sibuk, Heeseung akan mengirim pesan singkat, walaupun hanya sekadar menanyakan apakah Jake sudah makan atau tidak.
Tapi kali ini, tidak ada apa-apa.
Jake mencoba menghubungi Heeseung lebih dulu.
Jake: Kau sibuk?
Tidak ada balasan.
Satu jam kemudian, ia mencoba lagi.
Jake: Kau pulang jam berapa nanti?
Masih tidak ada balasan.
Jake mulai panik. Ia tahu Heeseung pasti masih kecewa, tapi tidak biasanya pria itu mengabaikannya seperti ini.
Saat matahari mulai tenggelam, akhirnya ponselnya berbunyi. Namun, alih-alih pesan dari Heeseung, itu justru pesan dari Jay.
Jay: Hee menginap di rumahku malam ini. Dia bilang dia ingin fokus kerja dulu. Jangan khawatir, dia baik-baik saja.
Jake menatap layar ponselnya lama, merasa dadanya semakin berat.
Jadi Heeseung benar-benar memilih untuk menjauh darinya?
Jake menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sesak di dadanya. Ia tahu ia salah. Ia tahu ia telah mengecewakan Heeseung. Tapi ia tidak menyangka Heeseung akan sampai sejauh ini.
Tanpa sadar, air mata mulai menggenang di matanya.
Malam ini, untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, Jake tidur sendirian. Dan rasanya lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
YOU ARE READING
Fragile, Yet Loved (HEEJAKE) END
FanfictionJake masih terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya. Luka yang ditinggalkan oleh mantan kekasihnya tak semudah itu sembuh. Trauma yang menahannya sering kali muncul tanpa peringatan, membuatnya merasa lelah dan rapuh. Namun, di sisinya ada Heeseung...
