Menemani dalam Proses

448 36 0
                                        


Minggu pagi datang dengan langit yang cerah. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai apartemen, menyorotkan cahaya hangat ke dalam ruangan. Heeseung terbangun lebih dulu, matanya masih setengah terbuka saat ia melihat sosok Jake yang masih terlelap di sampingnya. 

Napas pria itu teratur, wajahnya terlihat lebih damai dibanding beberapa malam sebelumnya saat ia terbangun karena mimpi buruk. Heeseung tersenyum kecil dan mengulurkan tangan untuk mengusap lembut rambut Jake. 

"Aku harap hari ini berjalan dengan baik untukmu," gumamnya pelan. 

Setelah beberapa menit hanya menikmati momen tenang itu, Heeseung akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Ia tahu betapa pentingnya hari ini bagi Jake—jadwal terapi psikiaternya. Setiap minggu, Jake pergi untuk sesi konsultasi, dan Heeseung selalu berusaha untuk menemaninya. 

Tak butuh waktu lama bagi aroma kopi yang baru diseduh memenuhi apartemen kecil mereka. Jake mulai bergerak di tempat tidur, matanya mengerjap pelan sebelum akhirnya duduk dan meregangkan tubuh. 

"Morning, Sayang," suara Heeseung terdengar dari dapur. 

Jake tersenyum kecil, matanya masih berat oleh kantuk. "Pagi, Hee." 

"Kau mau sarapan apa?" Heeseung bertanya sambil menuangkan kopi ke dalam dua cangkir. 

Jake bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekat, lengan kurusnya melingkar di pinggang Heeseung dari belakang. "Apa saja asal buatanmu," gumamnya, menyandarkan kepalanya di punggung pria itu. 

Heeseung tersenyum, menyandarkan sedikit tubuhnya ke Jake sebelum berbalik dan mencium puncak kepalanya. "Kalau begitu, tunggu sebentar, aku buatkan roti panggang dan telur." 

Mereka menikmati sarapan dengan obrolan ringan, sesekali saling bertukar suapan seperti pasangan baru jatuh cinta. Namun, di balik kehangatan pagi ini, Heeseung tahu ada sedikit ketegangan di wajah Jake. 

"Kau siap untuk hari ini?" tanyanya hati-hati. 

Jake terdiam sejenak, memainkan ujung lengan sweaternya. "Aku... aku rasa iya." 

Heeseung meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku akan ada di sana. Seperti biasa." 

Jake tersenyum kecil. "Aku tahu. Terima kasih, Hee." 

--- 

Setelah sarapan dan bersiap, mereka pun berangkat ke tempat terapi. Heeseung yang menyetir, sementara Jake duduk di kursi penumpang, menatap jalan dengan pandangan kosong. Heeseung tahu bahwa sebelum sesi terapi, Jake sering kali merasa cemas. 

"Kau ingin mendengarkan musik?" tanya Heeseung, mencoba mengalihkan pikirannya. 

Jake menoleh sebentar, lalu mengangguk. "Boleh." 

Heeseung menyalakan playlist favorit Jake, lagu-lagu akustik yang lembut mulai mengalun di dalam mobil. Jake tampak sedikit lebih rileks, meskipun sesekali menggigit bibirnya—tanda bahwa pikirannya masih dipenuhi kecemasan. 

Setelah sekitar dua puluh menit berkendara, mereka sampai di klinik psikiater. Bangunannya sederhana dengan nuansa hangat, tidak terasa kaku atau menyeramkan. Jake menatap gedung itu dengan ekspresi campur aduk, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum melepaskan sabuk pengamannya. 

Seperti biasa, sebelum Jake turun, Heeseung meraih tangannya. 

"Kau bisa melakukannya," kata Heeseung lembut. "Aku akan menunggu di sini." 

Jake mengangguk pelan. "Aku kembali dalam satu jam." 

"Aku di sini." 

Jake melepaskan genggaman tangan Heeseung dengan enggan, lalu masuk ke dalam klinik. Heeseung memperhatikannya sampai pintu tertutup di belakangnya, lalu menghela napas. 

Meskipun ia selalu menemani Jake, ada satu bagian dari proses ini yang harus dilalui Jake sendiri. Ia hanya bisa menunggu dan berharap sesi ini berjalan baik untuk kekasihnya. 

Sambil menunggu, Heeseung memesan kopi dari kedai kecil di dekat klinik dan duduk di mobil, memainkan ponselnya untuk menghabiskan waktu. Kadang-kadang, ia membaca artikel tentang trauma dan pemulihan mental, berusaha memahami apa yang Jake alami lebih dalam. Ia ingin tahu bagaimana cara terbaik untuk mendukungnya, bagaimana memastikan bahwa Jake tidak merasa sendirian. 

Satu jam terasa cukup lama ketika kau menunggu seseorang yang kau sayangi. 

Akhirnya, pintu klinik terbuka dan Jake keluar. Heeseung segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat. 

"Bagaimana?" tanyanya dengan suara lembut. 

Jake menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Lumayan baik... meskipun masih banyak yang harus kukerjakan." 

Heeseung tersenyum dan meraih tangan Jake, menggenggamnya erat. "Aku bangga padamu." 

Jake tertawa pelan, suaranya terdengar sedikit lega. "Terima kasih sudah menungguku." 

"Selalu," jawab Heeseung tanpa ragu. 

Mereka berjalan kembali ke mobil, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Jake merasa sedikit lebih ringan. Perjalanan untuk sembuh memang panjang, tapi dengan Heeseung di sisinya, ia tahu ia tidak harus melewatinya sendirian.

Fragile, Yet Loved (HEEJAKE) ENDWhere stories live. Discover now