Satu bulan sejak penandatanganan perjanjian itu, aku dan Abi melangsungkan pernikahan dengan sederhana. Tanpa venue mewah, tanpa dekorasi pelaminan, hanya akad dan pesta kecil yang diadakan di kebun belakang Oma Marni.
Yah.. lagian, apa sih yang kalian harapkan dari pernikahan dua orang yang bahkan baru saling mengenal kurang dari dua bulan?
Malah awalnya, aku dan Abi berencana tidak membuat acara apa-apa. Hanya akad di KUA dan bagi-bagi makanan ke tetangga yang ada di dekat rumah. Tapi berhubung kedua nenek kami adalah anggota pengajian komplek yang famous dan punya cukup banyak teman, maka akhirnya aku dan Abi mengiyakan bujukan mereka untuk membuat acara sederhana. Bukan karena tidak ada budget, tapi lebih ke malas berbaur dengan tamu undangan yang sudah dipastikan sembilan puluh lima persennya adalah ibu-ibu juga lansia teman-teman pengajian amih dan Oma Mar.
The Happiness menjadi WO resmi di resepsi pernikahan ku. Alih-alih membentuk tim seperti klien yang lain, Brian dan Ale sendiri lah yang sibuk memikirkan segala tetek bengek konsep dan dekorasi acara. Karena sejujurnya, aku bahkan tidak tertarik melibatkan diri di dalam penentuan konsep acaranya. Pokoknya, aku mau terima beres —begitu pesanku pada Brian dan Ale waktu itu.
“Gue kadang masih nggak percaya lo udah nikah,” Brian, yang siang ini sedang berjalan di sebelahku out of nowhere alias tiba-tiba saja mengucapkan kalimat itu, “aura lo bukan kayak aura perempuan yang udah married.”
Aku cuma menanggapi ocehan bosku itu dengan tawa hambar. Toh penilaiannya tidak salah juga. H+2 setelah resepsi aku langsung kembali ngantor, begitu juga dengan Abi. Bahkan lucunya, Homey tetap beroperasional seperti biasa di hari pernikahan kami.
Dan sekarang, setelah nyaris tiga bulan menikah, tidak ada yang berubah dari aku dan Abi. Ada sih sedikit… dirumah kami lebih sering berinteraksi, itupun kalau sedang ada Oma di antara kami. Selebihnya yah… begitulah. Jangan bayangkan kehidupan pasutri baru yang sedang manis-manisnya karena itu sama sekali tidak tertulis di kamus pernikahanku.
“Emangnya lo nggak ada niat honeymoon gitu?” Tanyanya lagi, “gue kasih cuti deh seminggu… nanti gue dibilang bos tidak berperikemanusiaan lagi, masa karyawan habis nikah bukannya senang-senang malah disuruh ngebut nyari cuan lagi.”
Bagi yang penasaran kenapa Brian bisa bicara begitu padaku, yep, dia sama sekali nggak tau menahu soal pernikahan kontrak yang aku jalani. Thanks to Ale, karena berkat kepiawaiannya dalam menyimpan rahasia, aku berhasil menyembunyikan hal konyol ini dari pacarnya a.k.a bosku yang super duper bawel itu.
“Eh, ini si Tom ngabarin soal jumlah undangan nih. Gue forward ke lo ya.” Sengaja aku mengalihkan pembicaraan, soalnya kalau dilanjutkan, bisa-bisa Brian tidak berhenti membicarakan topik yang sama seharian.
Ugh, membayangkannya saja aku udah mual duluan.
Untungnya trik kecilku itu berhasil. Brian mengubah arah pembicaraannya dan sekarang, dia malah membicarakan soal Tom —klien kami yang punya segudang wish list ribet untuk pernikahannya.
Setelah lunch, aku dan Brian kembali ke kantor. Dan begitu memasuki ruangan, Calista, Ghani serta beberapa karyawan lain sedang mengerubungi meja tengah yang biasanya kami gunakan untuk menerima klien. Saat melihatku, Calista melambaikan tangannya, dia lalu tersenyum lebar sambil mengacungkan cup kopi yang sangat ku kenali.
“Mbak, nitip thanks ya buat Mas Abi. Tadi ada pegawai Homey dateng nganterin ini buat kita. Mana banyak lagi.”
Aku mengernyit heran lalu menatap Brian yang balas mengendikkan bahu padaku, “ini… dari Homey?”
Ghani yang sedang mengunyah cromboloni mengangguk antusias, “iya mbak! Wah, gue semangat deh kerjanya kalo kayak gini. Sering-seringlah…” katanya yang kemudian di balas dengan anggukan oleh anak-anak lain.
YOU ARE READING
The Pattern of Love
FanfictionKinanti tak pernah menyangka hidupnya berubah drastis setelah Abi, cucu dari teman neneknya, datang membawa tawaran tak terduga: menikah kontrak demi menyenangkan hati sang oma. Awalnya, Kinan mengira ini hanya kesepakatan sederhana-tanpa cinta, tan...
