PART 04 : The Decision

6.8K 595 8
                                        


Haechan duduk di sofa apartemennya, menatap kosong ke luar jendela dengan tatapan penuh pikiran. Malam telah larut, tetapi pikirannya terus bergulat dengan kata-kata Mark Lee saat makan malam tadi. Tawaran itu, janji-janji yang Mark berikan, dan cara pria itu berbicara dengan begitu percaya diri— semuanya masih terngiang jelas di kepalanya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menekan sesuatu di dalam dadanya yang terasa begitu asing.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka dengan keras membuatnya hampir melompat dari duduknya.

"I'M HOMEEEE!!!"

Haechan mendelik ke arah pintu, di mana Jaemin berdiri dengan senyum menjengkelkan dan ekspresi kelewat ceria. Ah, Haechan tidak akan bertanya apa yang membuat pria manis itu terlalu gembira. Jawabannya karena dia berjaya kencan setelah satu minggu tidak mendapat afeksi yang cukup dari kekasihnya, Lee Jeno.

"Ya Tuhan, Jaemin! Kau mau buat aku mati karena serangan jantung, hah?!" seru Haechan, menepuk dadanya yang masih berdebar karena terkejut.

Jaemin berjalan mendekat, melemparkan tasnya sembarangan ke meja sebelum menjatuhkan dirinya di samping Haechan. Ia mengerutkan kening, mengamati wajah sahabatnya yang tampak lebih lelah dari biasanya.

"Kau kenapa? Kenapa mukamu kayak orang habis mengalami eksistensial crisis?" tanyanya curiga.

Haechan menghela napas panjang sebelum akhirnya bergumam, "Mark Lee—

"Oh iya, bagaimana pertemuan kau dengan Mark —

Belum sempat Jaemin menghabiskan pertanyaannya, Haechan terus memotong dengan cepat.

"— menawarkan pernikahan kontrak." Suasana menjadi begitu hening karena pernyataan Haechan masih belum mendapat reaksi dari Jaemin sama sekali. Jaemin terdiam, matanya membuntang mendengar ucapan Haechan.

"GILAAAA! KAU HARUS TERIMA ITU!" Jaemin berteriak begitu keras hingga Haechan buru-buru menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Ssst! Kau mau meruntuhkan apartmentku ya?!" geramnya.

Jaemin melepas tangan Haechan dan menatapnya dengan sorot mata yang hampir seperti ingin menamparnya dengan kenyataan. "Haechan, ini Mark Lee yang kita bicarakan! MARK LEE! Kau tahu kan dia itu siapa?! Dia literally a walking money! Pasangan kontraknya bakal hidup kayak ratu! Dan kau justru ragu?!"

Haechan memijat pelipisnya. "Itu bukan masalahnya, Jaem. Aku bukan tipe orang yang mau dikendalikan, aku nggak mau dimiliki siapa pun—"

"Halah, siapa juga yang bilang kau bakal jadi miliknya? Kau pikir Mark Lee itu pria posesif yang bakal mengikatmu dan mengatur hidupmu?! Aku tidak rasa kalau Mark Lee itu tipe yang begitu," potong Jaemin dengan ekspresi tidak percaya.

"Pernikahan inikan menguntungkan kalian berdua, dia pasti bisa bikin comeback kau menjadi sorotan semua media."

Haechan terdiam.

Jaemin menarik napas panjang sebelum melanjutkan, kali ini dengan suara lebih tegas. "Dengar, aku tahu kau pernah tersakiti. Aku tahu kau takut membuka diri lagi. Tapi, kalau ada kesempatan untuk mengembalikan segalanya—kariermu, statusmu, harga dirimu—kenapa harus menolaknya? Lagipula, ini hanya pernikahan kontrak. Bukan cinta. Kau tidak perlu memberikan hatimu. Kau hanya perlu mengambil keuntungan dari dia."

Haechan menelan ludahnya, tangannya mencengkeram kain celananya.

Jaemin mengangkat alis. "Atau... kau sebenarnya takut?"

Haechan mendongak, matanya menyipit. "Takut? Takut apa?"

Jaemin tersenyum miring. "Takut bahwa pada akhirnya, justru kau yang akan terperangkap dalam permainan ini. Kau takut jatuh cinta padanya?"

"Kau gila?!!" Pertanyaan Jaemin membuat Haechan hampir mual. Setelah hubungannya dengan mantan kekasihnya yang berakhir dengan begitu sadis, Haechan merasa mual dan pusing mendengar kata cinta.

"Tapi aku cuma mau bilang, jangan sia siakan peluang ini. Kau bahkan bisa balas dendam kepada mantan brengsekmu itu kan?" Jaemin tersenyum licik, dengan kedua alis dinaikkan berkali-kali.

Haechan duduk di sofa dengan tatapan kosong, pikirannya berputar pada perkataan Jaemin. Namun, yang lebih mengganggunya adalah suara Mark yang terus terngiang di kepalanya.

"Jika kau setuju, datanglah besok malam ke restoran ini. Aku akan menunggumu."

Perkataannya begitu santai, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seolah Mark tahu Haechan tidak akan bisa menolaknya. Seolah dia sudah memenangkan permainan ini bahkan sebelum Haechan sempat mengeluarkan kartu.

Haechan menghela napas panjang.

Sial. Mark Lee benar-benar mengacaukan pikirannya.

♫•*¨*•.¸¸♪

Di sebuah restoran mewah dengan pencahayaan hangat dan atmosfer eksklusif, Mark Lee duduk dengan santai di kursi VIP, jari-jarinya dengan ringan mengetuk meja. Matanya sesekali melirik jam di pergelangan tangannya, tetapi ekspresinya tetap tenang— meskipun orang-orang di sekitarnya mulai merasakan ketegangan yang halus.

Dua orang bodyguard yang berdiri tidak jauh darinya saling bertukar pandang.

"Tuan Mark nungguin siapa ya? Kok bisa-bisanya buat Tuan Mark menunggu selama ini?" bisik salah satu dari mereka.

Yang satunya mengangkat bahu. "Gak tahu, tapi lihat dari ekspresi Tuan Mark... mungkin orangnya istimewa."

Mark hanya mengulas senyum tipis, tidak memedulikan bisikan di sekitarnya. Ia bukan tipe pria yang suka menunggu, tetapi untuk kali ini— untuk orang ini, ia rela.

Lalu, tepat saat jarum jam melewati pukul delapan, pintu restoran terbuka.

Haechan melangkah masuk.

Ia mengenakan setelan hitam ramping yang membingkai tubuhnya dengan sempurna, rambut cokelatnya yang sedikit berombak jatuh di dahi, dan sorot matanya tajam meski ada sedikit ketidakyakinan di sana.

Mark tersenyum. Sebuah senyum kemenangan.

Tanpa ragu, ia bangkit dari kursinya saat Haechan mendekat. Ketika tangan mereka hampir bersentuhan, Mark meraih tangan Haechan dengan lembut dan mengecupnya singkat— seolah ia baru saja menyambut seseorang yang telah menjadi miliknya sejak lama.

"Selamat datang, Mrs. Lee."

to be continued

₊˚✧⋆ jangan lupa vote dan comment ya ₊˚✧⋆

BOUND BY DESIREWhere stories live. Discover now