Bab 4

158 9 0
                                        

Gaon masih terdiam dalam perjalanan pulang bersama Yohan dan Eliyah. Meski suasana di dalam mobil tenang, hatinya terasa penuh dengan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Eliyah yang tertidur di pelukannya membuatnya merasa hangat dan nyaman, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Entah kenapa, memeluk bayi itu membuat dirinya merasa sangat tenang, seakan ada bagian dari dirinya yang terisi.

Saat mereka tiba di rumah Yohan, Gaon dengan hati-hati meletakkan Eliyah di kasur bayi, perlahan-lahan agar tidurnya tidak terganggu. Ia menatap wajah bayi itu untuk sesaat sebelum keluar dari kamar. Langkahnya terhenti sejenak ketika matanya menangkap sebuah foto besar yang terpajang di ruang tamu. Itu adalah foto seorang wanita yang tampaknya sangat cantik—seorang wanita yang sangat mirip dengan Eliyah.

Gaon mendekat dan mengamati foto tersebut, terkesima dengan kecantikannya. "Ternyata kamu begitu cantik. Aku jadi mengerti kenapa Eliyah begitu cantik," bisiknya dalam hati. Namun, sebelum ia bisa mengungkapkan lebih banyak, suara Yohan terdengar dari belakang.

"Kamu mengagumi istriku?" suara Yohan terdengar tenang, meski ada nada tertentu di dalamnya yang membuat Gaon terkejut.

Gaon menoleh dan melihat Yohan yang sedang menyodorkan secangkir minuman. "Terima kasih. Ya, dia memang cantik," jawab Gaon, sedikit terkejut dengan kehadiran Yohan yang mendekat.

Yohan hanya diam, matanya menatap Gaon dengan tatapan serius. Lalu, ia mengucapkan kalimat yang tak terduga. "Aku ingatkan dirimu, kalau dia adalah milikku."

Gaon hanya tertawa kecil mendengar itu. "Tentu, aku tahu," jawabnya sambil tersenyum, namun di dalam hatinya, ada perasaan yang sedikit tak terungkapkan. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Yohan—sesuatu yang membuatnya ingin lebih mengenalnya.

"Tapi... di mana dia?" Gaon melanjutkan, melihat ke sekeliling rumah yang besar. "Eliyah sepertinya membutuhkannya."

Yohan berhenti sejenak, ekspresinya berubah, dan ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di matanya. "Dia meninggal saat melahirkan Eliyah," kata Yohan pelan.

Gaon terdiam, merasa sangat tidak nyaman mendengar kalimat itu. Wajahnya mendadak berubah, dan rasa iba menyelimuti dirinya. "Maafkan aku," kata Gaon dengan suara yang hampir berbisik.

"Tidak, itu bukan salahmu," jawab Yohan dengan lembut. "Aku yang harus minta maaf, karena merepotkanmu hari ini."

Gaon tersenyum tipis, namun hatinya semakin terikat pada Yohan, terutama ketika mendengar cerita tentang istrinya yang telah meninggal. Keheningan menghampiri mereka untuk beberapa saat, hingga akhirnya Gaon mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

"Ngomong-ngomong, sedang apa kamu di rumah sakit tadi?" tanya Gaon, mencoba mencairkan suasana.

"Aku sedang memeriksakan jantungku," jawab Yohan singkat, dan Gaon bisa melihat ada sesuatu yang berat di dalam jawabannya.

"Apakah kamu sedang sakit?" tanya Gaon, khawatir.

Yohan menggelengkan kepalanya. "Tidak, hanya check-up rutin saja," jawabnya, mengalihkan pandangan.

Sementara itu, Gaon terdiam, merasakan betapa asingnya perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Ia ingin lebih tahu tentang Yohan, namun rasa ragu dan bingung selalu datang menyertai setiap pertanyaannya.

Tiba-tiba, ponsel Gaon berbunyi. Sebuah pesan dari Daniel, kakaknya, muncul di layar. "Sepertinya aku harus pulang," kata Gaon setelah membaca pesan itu.

Yohan memberikan senyum kecil. "Terima kasih atas bantuanmu hari ini," kata Gaon, sebelum akhirnya pamit untuk pulang. Ia meninggalkan rumah Yohan dengan hati yang penuh tanda tanya.

Kantor Daniel

Sesampainya di kantor, Gaon langsung disambut dengan tatapan skeptis dari Daniel. "Dari mana kamu?" tanya Daniel, menyilangkan tangannya.

"Ke rumah sakit, ketemu dokter Hana," jawab Gaon sambil duduk di kursi kantor Daniel.

"Aku tahu, tapi itu sudah 5 jam yang lalu," Daniel mengernyitkan kening.

Gaon hanya memutar bola matanya malas. "Aku tidak boleh punya kegiatan lain?"

Daniel mengangkat alis, bingung dengan tingkah Gaon. "Kalau begitu, kenapa tidak belajar tentang bisnis di kantor?"

Gaon langsung menanggapi dengan nada malas, "Pusing, cepat tua." Daniel hanya menggelengkan kepalanya, dan mereka terlibat dalam percakapan ringan seperti biasa.

Lalu, Gaon bertanya dengan nada penasaran. "Kang Yohan, apakah dia baik?"

Daniel mengerutkan kening. "Kenapa kamu bertanya tentang dia?"

Gaon hanya tersenyum sedikit canggung. "Aku hanya penasaran saja, sepertinya dia cukup terkenal."

Daniel berubah serius. "Jangan berurusan dengannya. Dia cukup kejam di dunia bisnis. Kalau kamu mau berbisnis, aku sarankan untuk tidak berurusan dengannya," katanya, memperingatkan Gaon dengan nada yang cukup keras.

Gaon menganggukkan kepalanya, meski dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang menarik tentang Yohan yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Setelah beberapa saat, Gaon kembali melanjutkan aktivitasnya dengan perasaan penuh tanda tanya.

Malam Hari: Perasaan yang Tak Terucap

Gaon sedang berbaring di tempat tidurnya, membuka tablet dan mulai mengetikkan nama "Kang Yohan" di mesin pencari. Ia membaca beberapa artikel tentang Yohan, kebanyakan tentang dunia bisnis dan aktivitasnya di KY Group. Namun, tidak ada banyak informasi pribadi yang ia temui. Yang paling mencolok adalah bahwa Yohan sudah menikah dengan Go Soyeon, seorang wanita yang pernah tinggal di panti asuhan yang didanai oleh KY Group.

"Beruntung sekali dirimu, Go Soyeon," Gaon bergumam pelan sambil melihat foto Yohan dan Go Soyeon. Namun, saat matanya tertuju pada foto itu, ada perasaan aneh yang muncul. Tanpa sadar, Gaon menutup artikel itu dan berbalik kembali ke kehidupan nyata.

Pesan dari Yohan tiba-tiba masuk ke ponselnya, berisi foto-foto dirinya bersama Eliyah yang diambil Yohan sepanjang hari itu. Gaon tersenyum sendiri melihat foto-foto itu, lalu dengan hati-hati mengirim pesan ke Yohan. "Terima kasih untuk fotonya," tulisnya, berharap Yohan akan membalasnya.

Namun, pesan itu terbaca tanpa ada balasan. Gaon mengernyitkan keningnya, merasa sedikit kesal, dan bertanya-tanya mengapa Yohan tidak membalas pesannya.

Keluarga Gaon

Keesokan harinya, Gaon sarapan bersama orang tuanya. Tanpa sengaja, ia bertanya kepada ibunya tentang bayi. "Ma, bagaimana caranya agar bayi tidak menangis ketika kita tidak bisa menggendongnya terus-menerus?" tanyanya, penasaran.

Ibunya sedikit terkejut, namun menjawab dengan tenang. "Mungkin memberi pakaian yang tercium oleh kita, jadi bayi merasa kita tetap ada di dekatnya."

Gaon menganggukkan kepalanya, mencatat saran ibunya. "Terima kasih, Ma."

Ayahnya kemudian bertanya dengan serius, "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Gaon sedikit tersenyum. "Tidak ada, aku hanya penasaran."

Setelah sarapan, Gaon kembali teringat pada KY Group yang sedang mencari pengasuh bayi. Ia mulai berpikir, mungkin ini adalah kegiatan yang bisa ia lakukan sementara waktu. Namun, ia merasa tidak yakin jika dirinya bisa benar-benar merawat bayi. Ia hanya tertarik untuk menghabiskan waktu bersama Eliyah, yang membuatnya merasa tenang.

Namun, Gaon tahu satu hal pasti—ia tidak bisa menghindari perasaan yang semakin kuat tumbuh di hatinya. Perasaan yang datang tanpa ia minta, yang membuatnya semakin penasaran tentang Yohan.

-tbc-

when the devil call your nameWhere stories live. Discover now