"Peran guru, pengertian peran guru, bentuk-bentuk peran guru, terus pendidikan karakter, subpoin dari pendidikan karakter, dan terakhir karakter peduli sosial-pengertian serta bentuk-bentuknya. Oke, kayaknya ini udah pas." Nadin mencatat poin-poin yang akan ia bahas di bab kajian pustaka.
Setelah dua hari membiarkan skripsinya terbengkalai, ia akhirnya memutuskan untuk berdiskusi dengan Risa dan Azra mengenai bab 2. Kebetulan, mereka juga masih bingung dengan pembahasannya.
"Apa nggak sedikit ini pembahasannya?" tanya Nadin ragu.
"Udah pas kalau kata gue. Segitu aja dulu. Toh kalau salah, nanti juga direvisi sama Pak Rafka," ujar Azra meyakinkan.
"Iya, Din. Punya gue juga segini aja dulu. Ini juga gue habis baca-baca skripsi yang judulnya mirip," tambah Risa.
Nadin mengangguk. "Oke deh. Nanti malam gue bakal garap bab 2. Makasih ya, guys." Ia menutup buku catatannya dan memasukkannya ke dalam ransel.
"Kalau kita nggak diskusi gini, pusing yang ada," sahut Azra.
"Bener. Meskipun ngerjainnya sendiri-sendiri, tetap harus sharing biar nggak makin mumet," timpal Risa setuju.
"Ke kantin dulu, yuk! Laper nih gue," ujar Nadin sambil mengusap perutnya yang mulai keroncongan. Membahas skripsi memang bikin lapar.
Azra dan Risa setuju. Mereka bertiga pun keluar dari perpustakaan menuju kantin.
"Kalian cari tempat duduk aja dulu. Gue yang pesenin makanan. Mau makan apa?" tanya Azra begitu mereka tiba.
"Dimsum mentai, bakso bakar nggak pedes, sama drink matcha," jawab Nadin.
"Buset! Laper apa doyan, Din?" komentar Azra kaget.
"Gue dimsum original sama red velvet aja, Zra," sahut Risa.
"Oke, gue pesenin. Kalian cari tempat duduk dulu." Azra pun bergegas ke stand penjual dimsum.
Sementara itu, Nadin dan Risa menunggu di meja kosong. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing hingga tiba-tiba-
"Ehem!"
Suara seseorang membuat mereka spontan mengangkat kepala.
"Bapak?" Nadin terperanjat melihat pria bertubuh tinggi berdiri di samping mejanya.
"Sudah selesai tiga babnya?" tanyanya dingin.
"Pak, bisa sabar dikit nggak sih? Ini kita lagi ngisi tenaga buat ngerjain skripsi-"
"Selesaikan secepatnya. Minggu depan, hari Jumat, kalian bimbingan!" Tanpa menunggu jawaban, Rafka langsung pergi.
Nadin dan Risa saling pandang, masih tercengang dengan sikap dosen mereka itu.
"Apaan sih, Pak Rafka? Dateng-dateng langsung nagih skripsi. Tanpa bapak suruh juga kita bakal kerjain," keluh Risa.
"Iya, belum lama udah ditagih lagi. Emang dasar dosen nyebelin!" sambung Nadin. "Gue malah pernah ditagih di chat."
"Serius? Padahal baru beberapa hari, kan?"
Nadin mengangguk. Rasanya baru saja mereka mendapat arahan dari Pak Umar untuk mengerjakan bab 1 sampai bab 3, tapi Rafka sudah ribut menagih.
"Rusuh banget sih dia, kayak yang mau kemana aja!" gerutu Nadin.
"Udahlah, biarin. Nanti malam kita begadang buat ngerjain bab 2 biar cepat beres," ujar Risa mencoba menenangkan.
Tak lama, Azra datang membawa makanan. Saat melihat wajah Nadin yang masih kesal, ia langsung melirik Risa bertanya lewat tatapan.
"Tadi Pak Rafka nyamperin, tiba-tiba nagih skripsi. Katanya minggu depan, hari Jumat, kita bimbingan," jawab Risa santai.
"Apa?! Jumat?! Minggu depan?! Ya Allah, bab 1 aja belum kelar!" Azra langsung panik.
"Makanya kita harus ngebut," kata Risa.
Azra menghela napas berat. "Oke deh, semoga bisa selesai tepat waktu."
Sementara kedua temannya masih berbincang, Nadin memilih diam. Mood-nya benar-benar hancur setelah bertemu Rafka. Bahkan makanan yang hampir habis belum cukup untuk mengembalikan suasana hatinya.
Begitu selesai makan, Nadin pamit lebih dulu. Ia menitipkan uang makan ke Azra lalu pergi dengan niat tidur sejenak agar nanti malam bisa fokus mengerjakan skripsi.
Saat berjalan menuju gerbang, ia melihat David yang sedang berjalan juga. Ia ingin menyapa, tapi mulutnya kelu.
Ketika mereka berpapasan, Nadin hanya menatap sekilas dan menyunggingkan senyum tipis.
"Udah mau pulang?" tanya David tiba-tiba.
"Iya, Pak."
"Tumben sendirian? Biasanya sama Cica."
"Saya janjian sama Risa dan Azra. Tadi diskusi tentang skripsi," jawab Nadin.
David hanya mengangguk. "Pulang jalan kaki?"
Nadin mengangguk lagi. "Kalau gitu saya pamit ya, Pak."
David mempersilakan gadis itu pergi, melihat wajahnya yang tampak kelelahan. Ia sendiri masih harus membimbing mahasiswa sebelum kelasnya dimulai.
---
David tidak langsung ke kantor Prodi Hukum Keluarga. Ia menuju taman kampus lebih dulu karena dua mahasiswanya meminta bimbingan di sana.
Di taman, dua gadis terlihat sibuk dengan laptop masing-masing. Begitu melihat David datang, mereka langsung bersiap.
"Permisi, maaf menunggu lama," ucap David.
"Tidak apa-apa, Pak. Kami juga baru sampai," jawab Cica.
"Maaf mengganggu waktu Bapak," tambah Cindy.
"Nggak usah minta maaf. Ini memang kewajiban bapak. Kita mulai dari kamu, Cica. Boleh lihat skripsinya?"
Cica mengangguk dan menyerahkan draft bab 1-nya.
Saat membaca, David teringat sesuatu. "Oh ya, tadi bapak ketemu Nadin. Bapak kira dia bareng kamu."
"Tadi dia diskusi dulu sama temannya, Pak. Mau ngebut ngerjain bab 2 katanya."
David tersenyum tipis. "Kayak yang mau kemana aja ngebut-ngebut segala."
"Biasalah, Pak. Dosen pembimbingnya kan agak... unik," celetuk Cica.
"Siapa memangnya?" Cindy penasaran.
"Pak Rafka. Nadin sendiri yang milih beliau, tapi sekarang malah ngeluh pengen ganti dospem," cerita Cica.
David terkekeh. "Rafka itu baik, kok."
Cica memicingkan mata. "Baik apanya? Nyebelin gitu!"
20 menit berlalu, bimbingan selesai. David pun pamit ke kantor.
Setelahnya, Cindy berseru, "Eh, Ca. Pak Rafka emang nyebelin banget, ya?"
Cica langsung berceloteh panjang lebar.
Cindy menggeleng-geleng. "Untung dospem gue bukan dia. Kalau Pak David sih, masih mending."
"Iya, untung kita dapet dospem baik hati."
Cindy terkekeh. "Kayaknya yang jadi pasangan Pak David nanti bakal beruntung banget."
Cica ikut tertawa. Dalam hati, ia berkata, "Mungkin Nadin bisa masuk list. Hahaha!"
---
YOU ARE READING
Jungkir Balik Zona Skripsi (END) ✔️
RomanceSiapa sangka? Di balik tumpukan revisi, terselip rasa yang tak terdefinisi. *** "Dia adalah dosen paling nyebelin yang pernah gue temuin!" Begitulah Nadin saat pertama kali mengenal sifat asli dosen baru yang sialnya ia pilih sebagai pembimbing skri...
