• Chapter 1 •

Start from the beginning
                                        

"Hanya perasaanmu saja." Seungmin mengunyah keripik kentang yang ada di atas meja. Dia kembali mengerjakan latihan soal di buku. "Aku hanya sedang mencemaskan ujian kelulusan."

"Tapi kau 'kan pintar, Seungminnie. Yang harusnya cemas itu aku!" Hyunjin mengerang, merebahkan diri ke atas karpet. Dia menjauhkan buku tulis dan pena sejauh mungkin, terlihat muak. "Kenapa harus ada ujian kelulusan? Kenapa tidak bisa langsung lulus saja?"

"Kalau begitu, semua orang akan menjadi bodoh." Seungmin memutar bola mata. Entah sejak kapan Hyunjin mulai memanggilnya dengan panggilan akrab begitu—meski Seungmin tidak keberatan. "Seperti kau," lanjutnya pelan.

"Huh, kau bilang apa?"

"Tidak, aku diam."

"Hei, aku dengar, ya!"

"Perasaanmu saja." Seungmin menyeringai tipis. "Cepat lanjutkan pekerjaanmu. Kau 'kan yang mengajukan untuk belajar bersama."

"Huffft, baiklah." Dengan malas, Hyunjin kembali terduduk dan meraih pena. Dia kembali mencatat. Saat ini, mereka tengah belajar bersama di kediaman milik Seungmin. Suasananya sangat tenang, tidak, justru terlalu sunyi. "Omong-omong, aku tidak melihat siapapun di rumahmu. Orang tuamu ke mana?"

Gerakan tangan Seungmin terhenti sejenak, sebelum kembali seperti biasa. "Sudah tiada. Aku tinggal sendirian."

Kali ini, Hyunjin yang gerakannya terhenti. Dia melihat Seungmin dengan ekspresi bersalah. "Maaf."

"Kenapa minta maaf? Kau tidak salah apa-apa." Seungmin menggeleng pelan. "Lagipula, aku dapat tunjangan kehidupan dari beasiswa. Orang tuaku juga meninggalkan tabungan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hariku, jadi aku baik-baik saja."

"Bukan seperti itu maksudku—lupakan." Hyunjin mengembuskan napas. "Jadi, setelah lulus apa kau berencana lanjut kuliah, atau langsung bekerja?"

"Tentu saja bekerja," jawab Seungmin tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, "aku memang punya tabungan, tapi mengandalkan itu saja tidak cukup. Aku perlu bekerja. Mungkin ...."

Dia menjeda sejenak, kemudian mengangkat kepalanya, menatap sosok Hyunjin yang masih mendengarkan.

"Mungkin, aku akan menabung untuk kuliah juga. Kalau tabunganku cukup, aku akan mengunjungimu di Australia," ujarnya sambil tertawa pelan.

Hyunjin tertegun. "Hei, 'kan sudah kubilang, aku yang akan mengajakmu ke sana!" serunya, "kau tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun!!"

Akan terasa menyenangkan bila semua itu bisa menjadi kenyataan.

Tatapan Seungmin melembut.

"Menunggumu menjadi pelukis terkenal itu terlalu lama, tahu. Kau sudah lebih dulu melupakan aku."

"Tidak, kok! Kata siapa aku akan melupakanmu? Ingatanku bagus!"

"Kalau begitu, coba jelaskan sejarah era Kerajaan Joseon."

"T-Tiba-tiba dites seperti ini ... ayolah, itu hal yang berbeda!!"

"Mengingat materi ujian saja tidak bisa, apalagi mengingatku."

"Sudah kubilang, itu berbeda!!"

Andai kekuatan yang dimiliki Seungmin dapat menghentikan waktu untuk selamanya, mungkin dia sudah melakukannya saat ini.

***

Waktu mengalir seperti air.

Lembar kalender sudah berganti. Musim panas berlalu, musim dingin pun terlewati, dan sekarang sudah musim semi.

Ujian terlaksana dengan baik. Hidupnya berlangsung lancar dan tenang. Tidak, dia justru tidak pernah merasa sedamai ini dalam hidupnya.

Seungmin menggenggam erat kertas kelulusannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 11 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

An Index of Those We Couldn't SaveWhere stories live. Discover now