Tidak, bukan berpikir negatif, hanya ... mencoba memikirkan situasi terburuk.
Benar. Lebih baik seperti ini.
Lebih baik Seungmin terus berada di dalam cangkang dan bermain aman. Setidaknya, dia tidak perlu terlibat dalam masalah yang merepotkan.
Kehidupan monoton damai seperti ini ... dia harus mempertahankannya.
Saat itu, itulah yang Kim Seungmin pikirkan. Ia tak tahu, di masa depan, ada hal lebih buruk yang menunggunya.
Memaksanya keluar dari zona aman.
***
"Seungmin-ah, Seungmin-ah!"
Panggilan dari Hyunjin membawa kembali kesadarannya ke dunia nyata. Seungmin mengerjapkan mata. "Eh, iya?"
"Kau mau pesan apa?" Si lawan bicara bertanya. "Kau dari tadi melamun terus. Apakah ada yang mengganggumu?"
"Ah, tidak." Seungmin menggeleng. "Aku hanya ... tiba-tiba kepikiran tentang rencana masa depan."
"Oh, kalau itu aku juga!" seru Hyunjin, sembari mengerang pasrah. "Sejujurnya, aku sudah punya rencana kasarnya. Tapi, kalau dipikirkan secara mendetail, aku bingung!"
"Tapi bagus bila kau sudah memiliki rencana kasarnya," ungkap Seungmin. Ia membolak-balikkan buku menu, memperhatikan harga yang tertera.
Mahal-mahal sekali ....
Meskipun ia ditraktir, tapi rasanya tidak enak hati bila ia memesan sesuatu yang mahal.
"Kau tidak berniat bertanya apa rencanaku?" Hyunjin memajukan bibirnya. Anak ini memang tidak pandai memberi kode, atau memang Seungmin saja yang terlalu cuek?
Seungmin menaikkan sebelah alis. "Kau ingin aku bertanya?"
"Bukankah biasanya begitu? Kau tidak penasaran??"
Tidak juga ....
Seungmin memilih tidak mengatakannya, dan mengembuskan napas. "Memangnya apa rencana kasarmu itu?"
"Hyunjin," ucap Hyunjin, masih cemberut. "Coba panggil namaku juga! Kau belum pernah memanggil namaku!!"
Kali ini, Seungmin tidak bisa menyembunyikan ekspresi herannya. Anak ini memperhatikannya sampai sedetail itu?
"Kau mau aku tidak jadi bertanya?" Wajah Seungmin berubah datar.
"Aku bercanda!" Hyunjin menyengir, menggaruk tengkuknya. "Aku berencana pergi ke Melbourne selepas ini!"
"Melbourne?" Nah, yang satu ini berhasil menarik perhatian Seungmin. "Australia?"
"Benar!" Hyunjin tampak semangat. "Aku ingin mengunjungi Opera House, kau tahu, yang terkenal itu!! Kemudian, kudengar ada jembatan yang super cantik di sana. Aku ingin melukisnya!!!"
Seungmin terdiam, mendengarkan ocehan ceria Hyunjin. Mimpi-mimpi tersebut terdengar sangat jauh dari jangkauannya, tetapi lelaki di hadapannya ini bisa mengatakannya dengan ringan.
"Pasti menyenangkan," Seungmin mengatakannya tanpa sadar, diikuti senyum kecil.
Hyunjin mengerjapkan mata. "Kalau aku bisa jadi pelukis terkenal, aku akan mengajakmu ke sana! Tidak, aku akan melukis wajahmu!!" Lelaki itu mengepalkan kedua tinjunya. Matanya berapi-api. "Ah, tidak, tidak! Aku tidak perlu menunggu menjadi pelukis terkenal. Aku bisa melukismu sekarang juga!!"
Sebuah tawa ringan lepas dari mulut Seungmin. Ini pertama kalinya Hyunjin melihat Seungmin tertawa. Tanpa sadar, bibirnya ikut tersenyum.
Konyol sekali, pikir Seungmin. Tetapi bibirnya masih menyunggingkan senyuman.
ANDA SEDANG MEMBACA
An Index of Those We Couldn't Save
Fiksyen Peminat*** Kim Seungmin tidak pernah meminta untuk selamat dari kecelakaan yang membunuh orang tuanya. Dia tidak pernah meminta diselamatkan oleh kekuatan yang tidak diinginkan. Namun, dia juga tidak pernah menyangka bahwa kekuatan aneh ini membawanya bert...
• Chapter 1 •
Mula dari awal
