O9

2.6K 233 22
                                        


Dua hari berlalu, jika hari sebelumnya Haechan tampak murung. Hari ini anak itu telah kembali ke setelan pabrik. Haruskah Taeyong, Yuta dan Jaehyun bersyukur? Atau harus meratapi nasib mereka?

Masalahnya hari ini telinga dan mulut mereka sudah kebas menanggapi Haechan yang sejak tadi mengoceh tiada henti.

"Lo diem anj*ng! Berisik!" Itu Yuta yang kini membekap mulut Haechan di sebelahnya. Mereka sedang dalam perjalanan mengantar Haechan berangkat sekolah. Lengkap bersama Jaehyun, Yuta dan Taeyong yang mengemudikan mobil. Sudah seperti mengawal presiden.

"AGHH!" Yuta menjerit, ketika Haechan dengan tampang tak berdosanya telah menggigit telapak tangan Yuta. Taeyong yang melihat keduanya melalui spion depan, hanya menggelengkan kepala sembari terkekeh.

"Chan, nanti kamu pulangnya sama Jaehyun. Kalo udah pulang langsung hubungin kita, dan jangan ke mana-mana!" peringat Taeyong sebelum Haechan turun dari mobil.

"Kalian ke mana sih? Dari kemaren juga gitu, tunggu aja gue aduin Ayah kalo kalian makan gaji buta!"

"Lo pikir kita ga punya kesibukan?!" Seru Yuta tak terima.

"Kerjaan lo kan buat jagain gue! Jadi pengawal gue! Jangan mentang-mentang Ayah nggak di rumah kalian seenaknya!"

"Kau diam!" tambah Haechan, tak memberikan Yuta celah untuk berbicara barang sedetik pun. "Seekor anjing harus patuh pada majikannya." Yuta mengeraskan rahangnya, menatap Haechan bagai mangsa yang ingin ia binasakan. Seperdetik setelah Haechan berbicara seperti itu, anak itu turun dari mobil dan membanting pintunya.

"Apa gue resign aja ya?" Tanya Yuta yang hanya mendapat tawa renyah dari Jaehyun dan Taeyong.

"Tapi sumpah, cuma sama lo, Haechan jadi kayak gitu," ucap Taeyong disela tawanya.

<><><><><><><><><><><><><>

Haechan berjalan dengan langkah loyo menuju kelasnya.  Di tengah jalan, langkahnya tiba-tiba terhenti, wajahnya berubah menjadi serius, tangannya meraba saku celana dan tasnya.

"Sial, inhalernya ketinggalan di kamar," keluhnya. "Ah biarinlah," ucapnya tak ingin ambil pusing. Sebenarnya Taeyong tadi sudah memperingatkannya, cuma Haechan pikir ia sudah memasukkannya ke dalam tas.

"Haechan!" Haechan celingak-celinguk, mencari eksistensi yang baru saja meneriakkan namanya. Rupanya Jeno yang juga baru berangkat.

"Lo ke mana beberapa hari ini?" tanya Jeno, penasaran.

Haechan merotasi bola matanya malas. "Gapapa," jawabnya melanjutkan langkahnya menuju kelas.

"Kenapa? SPP lo nunggak?" Haechan sontak menoleh ke arah Jeno kembali, salah satu alisnya terangkat.

"SPP apaan, kita aja belum ada sebulan sekolah."

"Terus kenapa? Lo ada tunggakan? Kalo ada... gue bisa bantu lo buat bayarnya." Haechan semakin memasang wajah sinisnya mendengar pertanyaan dari Jeno. Memang semiskin itukah penampilannya sampai Jeno mempertanyakan hal tersebut.

Haechan mempercepat langkahnya, Jeno juga tak tinggal diam, ia segera menyusul dan mengimbangi langkah Haechan. "Gue nggak bermaksud gitu, gue cuma mau bantu."

"Apaan sih, orang duit gue udah banyak."

Jeno menghentikan langkahnya, menatap punggung Haechan yang kini sudah menghilang dari balik pintu kelas. Raut wajahnya terlihat iba, Haechan pura-pura kaya biar nggak dikasihani, ya? Begitu isi batin Jeno.

Sepertinya di mata Jeno, Haechan ini adalah seorang gembel yang kebetulan mendapatkan beasiswa hingga bisa mengemban ilmu di sekolah elite ini.

Jeno akhirnya berjalan menyusul masuk ke dalam, sampai tiba jam pelajaran pertama hingga waktunya istirahat pertama.

Three BodyguardWhere stories live. Discover now