Kak Dareen nggak apa-apa, kan? Dia baik-baik saja, kan?
Pikiran itu terus berputar di kepala Karin, seperti rekaman yang tak berhenti diputar ulang. Ia mendengus kesal, merasa terjebak dalam kegelisahan yang tak berujung.
"Aku mandi aja, deh. Biar lebih fresh," gumamnya sambil bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar mandi.
Air dingin menyentuh kulitnya, memberikan sensasi menyegarkan sejenak. Namun, setelah selesai, kekhawatiran tentang Dareen kembali menghantui, membuat segalanya terasa suram.
Malam pun tiba. Karin duduk sendirian di meja makan. Tangan kanannya sibuk mengaduk makanan di piringnya, sementara tatapannya kosong, menembus ruang tanpa benar-benar melihat apa pun.
Rasanya aneh harus makan malam sendirian seperti ini.
Kevin tadi sudah memberitahu bahwa ia lembur, sibuk mengurus salah satu penyanyi di agensinya. Sedangkan Dareen? Masih sama, tidak ada kabar.
Di depannya, terhidang seporsi makanan yang ia masak khusus untuk Dareen. Ia berharap Dareen pulang malam ini, tidak seperti kemarin. Kemarin, makanan yang ia buat dengan penuh harapan itu harus berakhir di tempat sampah karena sudah basi.
Makanan aja malas nungguin Kak Dareen pulang, apalagi aku, pikir Karin sambil menghela napas panjang.
Ia menyerah untuk makan. Tangannya meletakkan sendok perlahan ke samping piring. Semakin lama, rasa sepi dan kecewa ini semakin sulit ia lawan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Karin tetap larut dalam lamunannya, mengabaikan suara itu. Ia berpikir bahwa yang masuk adalah Kevin. Kakaknya memang memiliki kebiasaan masuk rumah tanpa membuat banyak suara.
Namun, langkah-langkah berat terdengar mendekat dari ruang tengah ke ruang makan. Ketika Karin melirik sekilas, ia mengira itu hanya Kevin. Tapi, ada sesuatu yang berbeda. Penasaran, Karin mengangkat wajahnya kembali dan menatap pria itu lebih jelas.
Matanya membesar. Napasnya tertahan.
"Kak... Kak Dareen?"
Pria itu adalah Dareen. Ia mengenakan setelan formal, namun rambutnya berantakan, seolah-olah ia baru saja melalui hari yang sangat melelahkan. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tapi mata itu, mata yang tampak begitu lelah, berbicara banyak tanpa kata-kata.
Karin berdiri dengan tergesa, tatapan matanya mulai berkaca-kaca. Ia berlari menghampiri Dareen dan memeluknya erat tanpa berpikir panjang.
"Kakak ke mana aja? Aku nyariin kakak kemana-mana! Aku khawatir banget sama kakak!" serunya dengan suara bergetar, air matanya nyaris tumpah.
Dareen berdiri kaku. Pelukan Karin yang tiba-tiba mengejutkannya. Meski begitu, ia tidak melawan atau menolak. Ia membiarkan tubuhnya tenggelam dalam pelukan adiknya. Entah kenapa, di balik segala kekacauan yang ia alami, ada rasa menenangkan yang menyelinap di dalam hati.
Namun, saat Karin melepaskan pelukannya, Dareen segera mendorong tubuh Karin sedikit menjauh. Ada jarak yang ia ciptakan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional.
Karin menatapnya bingung, namun Dareen hanya membalas dengan tatapan dingin. Di dalam pikirannya, kemarahan dan kekesalan terhadap dirinya sendiri beradu dengan perasaan hangat yang Karin berikan. Ia merasa gagal.
Setiap kali ia melihat Karin, rasa kesal itu kembali menyeruak. Kekesalan yang bukan sepenuhnya salah Karin, tetapi akibat dari kegagalan yang baru saja ia alami. Ia merasa hidupnya perlahan-lahan hancur, seperti menonton pasir di jam pasir yang terus jatuh tanpa henti.
"Maaf, aku pasti udah buat kakak gak nyaman," ucap Karin dengan nada penuh penyesalan.
"Karin, bisakah beri aku waktu untuk sendiri?" tanya Dareen dengan tatapan malas, matanya yang lelah menyiratkan keinginan untuk menjauh.
BINABASA MO ANG
Breaking The Scale
General Fiction"Balancing Power, Love, and Freedom" Tidak semua keluarga kaya raya hidup dalam kebahagiaan. Bagi Dareen dan Deris, kakak-beradik yang hidup dalam bayang-bayang keluarga mereka, harta justru menjadi awal dari luka. Dareen selalu dianggap anak kebang...
Chapter 12: An Unexpected End
Magsimula sa umpisa
