"But I want to live and not just survive."
—Love in the dark
***
Langit kota Soltara menghitam sebelum waktunya. Awan bergulung seperti pusaran tinta di atas pencakar langit kaca yang memantulkan cahaya merah dari matahari tenggelam. Angin yang membawa aroma ozon dan besi menyapu jalan-jalan metropolis yang gemerlap, seolah ada sesuatu yang datang dan kota tahu. Setiap retakan di trotoar, setiap jendela apartemen yang terbuka, bahkan lampu lalu lintas yang berkedip tak teratur, seakan semuanya menahan napas.
Tapi di antara keramaian dan keheningan yang aneh itu, seseorang berjalan sendirian.
Abigail Reinhart Waylon. Kini berusia 27 tahun, memikat dan anggun, bak hasil pahatan musim dingin itu sendiri. Rambut panjang dan legam, sehitam malam tanpa bintang, tergerai lembut di atas bahunya. Kulitnya pucat seputih salju Crystalis, memberikan kontras yang sempurna dengan rona merah muda alami di pipinya. Mata birunya jernih dan menusuk, menggambarkan sosoknya yang tegas sekaligus menawan.
Tiga puluh tiga tahun sejak perang besar terakhir, dan sejak ibunya—Carla Van Eugenia mengorbankan kekuatan kegelapan demi menghidupkan kembali cinta sejatinya, Kendric Rafael Waylon. Dunia telah tenang sejak saat itu. Kota Crystalis berdamai dengan wilayah-wilayah netral lainnya, termasuk Soltara, negara modern tua tempat Abigail saat ini menapakkan kaki.
Tapi hari ini, semuanya kembali.
Abigail berdiri di atap gedung tua di Distrik Veltheim, wilayah tertua kota. Tempat di mana banyak perjanjian supernatural dilakukan secara sembunyi-sembunyi, jauh dari kamera publik dan mata manusia biasa. Ia mengenakan mantel panjang hitam yang berkibar bersama rambutnya yang legam, kontras dengan kulitnya yang putih seperti salju. Mata birunya menatap ke arah menara Himorn, gedung pemerintahan tertinggi di negara Soltara.
"Sesuatu merayap dari celah-celah dunia ini," gumamnya. "Dan mereka pikir aku tidak melihatnya."
Angin menjawab dengan tiupan dingin yang menusuk tulang. Tapi bukan angin yang membuat Abigail menggenggam liontin perak pemberian ayahnya erat-erat.
Itu karena Charles, kakaknya, hilang.
Tiga hari lalu.
Bukan hilang biasa. Ia tak ditemukan di mana pun dalam jaringan digital dunia. Tidak di Himawari, tidak di Federasi Amareth, tidak juga di daratan utara Bravakhan. Seolah-olah Charles—putra tertua pasangan penguasa Crystalis, penerus sah kekuatan dominion darah campuran, menghilang ke dalam dimensi lain.
Dan hanya satu hal yang bisa menyebabkan itu.
The Inheritor Protocol.
Sebuah isu sangat rahasia yang dahulu dianggap mitos oleh para penghuni dunia baru. Diceritakan dalam naskah-naskah tua di reruntuhan Gerbang perang, bahwa akan ada entitas-entitas baru tanpa perasaan di masa depan. Entitas yang bahkan ditakuti oleh para terdahulu, dan dapat membasmi makhluk-makhluk atau penguasa lama.
"Dan kau, Charles..." bisik Abigail, "...apa yang sebenarnya kau cari?" Abigail membayangkan wajah kakaknya, laki-laki hangat murah senyum berusia 30 tahun yang seharusnya sebentar lagi akan menikah dengan Dokter Candice, putri bibi Kaela dan paman Nevan, sahabat orang tua mereka.
Suara langkah membuyarkan pikirannya.
Dari balik bayangan pintu besi yang berkarat, muncul sosok berjas panjang abu-abu, wajahnya tersembunyi di balik masker respirator khas prajurit elite Federasi Amareth. Sosok itu melepaskan maskernya perlahan, menampakkan wajah wanita berambut merah menyala, mata hijau tajam seperti elang.
"Agent Waylon," sapa wanita itu. "Aku tidak menyangka kau benar-benar datang sendiri."
Abigail tak bergeming. "Kau menyembunyikan dokumen rahasia tentang protokol itu dari jaringan terbuka. Dan kau tahu aku bisa membacanya di angin. Itu cukup untuk membuatku datang."
Wanita itu mengangguk, lalu menyerahkan sebuah amplop hitam.
"Ini semua yang bisa kami temukan. Tentang Protokol. Tentang Charles. Dan tentang organisasi yang mulai bergerak lagi setelah dua dekade: The Covenant of Ruin."
Abigail menyipitkan mata. Nama itu bukan hal asing. Ia pernah mendengarnya di usia lima belas, saat menyelinap ke ruang penyimpanan Ayahnya di Crystalis. Organisasi tua yang dulunya pengikut Shadowborne, pecahan terakhir dari kultus kuno yang percaya dunia harus dibersihkan dari semua yang campuran—baik darah, kekuatan, atau warisan.
"Kenapa sekarang?" tanya Abigail. "Kenapa Charles?"
Wanita itu menggeleng. "Kami tidak tahu. Tapi yang pasti, ini bukan hanya tentang dia."
Abigail membuka amplop itu. Di dalamnya, hanya ada satu foto. Sebuah lokasi di utara, perbatasan negara beku bernama Norrvane. Hutan, reruntuhan, dan sesuatu yang bersinar di tengah salju. Bukan cahaya biasa. Tapi cahaya merah... seperti mata yang menyala.
"Apa ini?"
"Gerbang ketiga dari The Inheritor Protocol," jawab wanita itu. "Dan satu-satunya pintu yang tidak bisa dijaga oleh siapapun dari Federasi atau Crystalis. Karena hanya satu yang bisa membukanya..."
Abigail mengangkat wajah.
"Darah Crystalis," gumamnya.
Wanita itu menatapnya lekat-lekat. "Kau... atau Charles."
Dan langit bergemuruh.
***
Tiga hari kemudian, Abigail berdiri di tebing utara Norrvane. Salju menumpuk di bahunya, mantel tebal yang ia kenakan tak cukup menahan dinginnya medan. Tapi dingin bukan masalah, ia sudah terbiasa sejak kecil. Tidak setelah ia mendengar suara-suara dari balik celah batu, bisikan dalam bahasa kuno yang bahkan tidak diajarkan oleh ibunya.
"Akan ada yang bangkit..."
"Keturunan darah bercampur..."
"Yang satu akan membawa cahaya..."
"Yang satu akan membuka kehancuran..."
Dan dari bawah lapisan es, sesuatu bangkit perlahan.
Tangan.
Berwarna hitam arang, urat-urat merah menyala seperti lava yang menyusup di balik kulitnya. Tangan itu mencengkeram batuan beku dan menarik dirinya keluar. Mata merah menyala menatap Abigail.
Makhluk itu berbicara, suaranya seperti gemuruh gunung dan deru badai.
"Kau... bukan kunci."
Abigail menarik pedang pendek peraknya.
"Aku bukan kunci," sahutnya dingin. "Aku pemutus rantainya."
***
Di tempat lain, di Himawari, negara kepulauan berteknologi tinggi yang menyembunyikan markas para 'Guardian of the Fold', sebuah pertemuan rahasia diadakan. Hologram raksasa menampilkan gambar Abigail dan Charles berdampingan. Teks di bawahnya menunjukkan status terbaru:
STATUS: CHARLES R. WAYLON — HILANG.
STATUS: ABIGAIL R. WAYLON — AKTIF, TERAWASI.
THREAT LEVEL: CRITICAL.
Salah satu pemimpin, wanita tua dengan jubah putih dan simbol mata ketiga di dahinya, menatap layar dan bergumam:
"Pewaris Crystalis telah bergerak. Protokol akan segera lengkap. Dunia harus memilih sisi sebelum semuanya terlambat."
Dan dari balik layar, seseorang tertawa pelan. Sosok laki-laki dengan jubah merah, berdiri di antara pilar-pilar hitam. Ia menggenggam liontin yang sama dengan milik Abigail, namun lebih gelap, lebih tua.
Matanya biru kehijauan, sedikit mirip seperti milik Abigail. Tapi penuh kegelapan.
Charles Raphael Waylon.
"Aku sudah membuka satu pintu," ucapnya pelan. "Dan kalian masih berpikir aku perlu diselamatkan."
Ia menoleh ke layar hologram yang menampilkan wajah adiknya, dan berbisik:
"Abby... semoga kau cukup kuat untuk menghentikanku. Atau dunia akan terbakar."
***
To be continue.
YOU ARE READING
The Inheritor Protocol
FantasySEQUEL TO - 'THE BLOOD REJECTION' 33 tahun setelah perang Crystalis berakhir, dunia supernatural seolah hidup damai. Tapi kedamaian hanyalah ilusi. Abigail Reinhart Waylon, gadis berusia 27 tahun dari darah legendaris, hidup dalam bayang-bayang peng...
