"Ngomong! Jangan diem aja!" Karina membentak, yang lagi-lagi mengundang atensi. Beberapa orang sampai berhenti berjalan, sisanya menghentikan aktifitas demi memperhatikan keributan apa yang sedang terjadi.

"Ayo putus." Setelah sesi melempar koin, setelah berkali-kali mengadu nasib lewat petikan daun, setelah merenungkan belasan purnama, kalimat itu akhirnya terucap dari bibirnya yang kecut—sebaris kata usai yang singkat. Begitu kalimat itu menguap, getir tertinggal di langit-langit mulut. Meneteskan pahit dari saliva yang susah sekali ditelan. Sesuat dugaannya, Karina tercekat. Gadis itu sampai membelalakkan mata demi mencerna kalimat singkat yang dia semburkan.

"Gara-gara barusan aku bersikap nggak sopan, kamu mau kita putus?" cercanya. Sulit dipercaya bahwa mereka harus putus dengan cara yang seperti ini. "Ratusan kali aku misuh-misuh di depan kamu, berulang-ulang kali aku bertingkah nggak jelas, di antara semua sifat jelek aku yang udah kamu tau sejak lama, kamu mau kita putus gara-gara aku nyerobot minuman kamu?"

"Enggak, tapi kayaknya aku ngerasa kita udah nggak cocok lagi."

"Nggak cocok?" Karina tertawa terbahak-bahak. Bahkan saking kerasnya dia tertawa, dia sampai membuat orang-orang yang ada di sekelilingnya menoleh dengan penasaran. Berusaha mencari tahu apa yang lucu sampai-sampai gadis berambut pendek itu tertawa sekeras itu.

"Tai!" Gadis itu mengumpat keras. Dan umpatan yang tersembur dari bibirnya berhasil membuat siapa pun yang berada di sana bergeming—termasuk Cetta. "Kamu kira selama ini kita ngapain? Main puzzle? Yang ketika kamu nggak nemu potongan yang pas, kamu bisa buang potongan-potongan yang lain gitu?"

"Terus kalau aku merasa kita nggak cocok, apa aku harus maksain kita buat sama-sama?"

Karina masih terlalu muda untuk memahami bagaimana hubungan antara dua orang berjalan. Tetapi sependek pengetahuannya, semua orang di dunia ini memang mustahil untuk menjadi cocok. Hubungan antara dua orang tak bisa disamakan dengan puzzle. Segalanya lebih kompleks dan terlalu rumit untuk dipahami. Karina pikir, di antara begitu banyaknya hal yang berbeda, manusia tak harus membuat kecocokan satu sama lain. Mereka hanya perlu menerima dan hidup berdampingan. Tetapi detik di mana dia mendengar pertanyaan itu terlontar dengan tenang dari bibir lelaki yang teramat dicintainya, apakah segala pemikirannya selama ini salah?

"Apa yang bikin kamu mikir kalau kita nggak cocok?" Kalimat itu terlontar dengan suara getir. Karina berusaha keras supaya dia tidak kelihatan gemetaran, tetapi sepertinya hal tersebut sia-sia saat pandangannya mulai memburam—tergenang air mata, dan Cetta pasti bisa melihat kegetirannya dengan sangat jelas saat ini.

"Semuanya." Dan jawaban itu masih sama singkatnya.

Mungkin benar apa kata orang-orang, bahwa sedih dan senang terkadang hanya dipisahkan satu garis tipis tak kasat mata. Kegembiraan yang semula meletup-letup bersama lagu-lagu mayor bahagia, seketika hancur berkeping-keping. Tergantingan sedih yang mencakar-cakar dari dalam.

"Semuanya?" Retorika itu membuat Cetta mendesah. Laki-laki berkemeja putih itu menjadi gusar ketika dia memperhatikan ke sekeliling, orang-orang memperhatikannya dengan harap-harap cemas. "Setelah seharian ini kamu ngajak aku nonton festival, bikin aku seneng, jajanin aku banyak makanan, semua itu cuma buat ini? Kamu ngajak aku terbang sampai ke langit, terus jatuhin aku tanpa aba-aba kayak gini?"

"Selama ini aku selalu cari kesempatan kapan baiknya aku bilang ini ke kamu, tapi aku selalu nggak nemu momen yang pas. Dan kalau nggak sekarang, aku nggak tau sampai kapan lagi kita harus jalani hubungan yang nggak nyaman ini."

Karina semakin tertegun, begitu pula dengan orang-orang yang masih berada di sana. Beberapa orang bahkan membulatkan mulut dan membungkamnya dengan telapan tangan, menghujani Karina dan Cetta dengan pandangan tak percaya. Malam itu, angin Kota Jakarta tiba-tiba berembus dingin. Euforia pagelaran musik yang semula meriah, berganti perasaan getir yang sulit untuk dijelaskan. Karina tahu bahwa dia sudah tidak bisa berpikir banyak setelah itu. Kepalanya mendadak kosong, dan dia terlalu malu untuk mengorek alasan mengapa Cetta tiba-tiba meminta untuk putus. Ah, tidak, itu bukan tiba-tiba. Diam-diam Cetta sudah merencanakan agenda ini sejak lama, dan Karina sama sekali tidak tahu bahwa beberapa waktu belakangan ini, dia jatuh cinta sendirian.

"Kamu baik, tapi aku rasa—"

Waktu seakan-akan berhenti. Orang-orang yang masih berada di sana memekik tertahan, sementara Cetta terbelalak saat Karina menyiramnya dengan minuman boba yang gadis itu bawa. Seingat Cetta, Karina baru menyedot tak lebih dari 5 kali, jadi minuman itu benar-benar masih terlihat penuh. Di antara begitu banyaknya reaksi Karina yang terbayang-bayang dalam benak Cetta, laki-laki itu hampir tidak pernah membayangkan akan disiram brown sugar milk tea lengkap dengan bulat-bulat boba yang bersarang di rambut dan pakaiannya. Kini, sekujur tubuhnya beraroma gula merah dan susu full cream.

"Karina? Kamu apa-apaan—"

"Bobanya bikin aku eneg, jadi buat kamu aja!" sembur Karina.

Gadis itu benar-benar tak membiarkan Cetta membalas ucapannya lebih jauh. Karena satu detik setelah Karina berseru seperti itu, gadis itu bergegas pergi. Dia meninggalkan Cetta yang masih terhenyak di tempatnya berdiri, juga tatapan orang-orang yang mengekorinya dengan pandangan iba.

Karina pikir, dia bisa mengakhiri hari ini dengan momen yang menyenangkan. Begitu konser berakhir, dia sudah membayangkan kembali ke rumah sembari memeriksa beberapa foto dan video yang dia rekam selama konser berlangsung. Beberapa di antara ada fotonya bersama Cetta. Rencanannya, Karina ingin mengunggahnya ke sosial media dengan caption manis dan ucapan terima kasih karena laki-laki itu sudah mengajaknya menonton konser. Tetapi sepertinya dia akan menjadi jauh lebih sibuk malam ini. Saking sibuknya, dia mungkin tidak akan tidur sampai keesokan harinya.

Tidak seperti pertengkaran-pertengkaran mereka sebelumnya, tidak ada lengkingan suara Cetta yang memanggil namanya. Tidak ada langkah kaki yang tergesa-gesa menyamai langkahnya. Laki-laki itu tidak mengejarnya sama sekali, tanda bahwa ajakan putus itu benar-benar serius. Karina sadar bahwa dia masih terlalu muda untuk menyerah di tengah jalan. Putus cinta jelas hal yang lumrah. Tetapi dia tidak pernah membayangkan bahwa rasa sakitnya akan menjadi separah ini. Usahanya menahan diri untuk tidak menangis akhirnya menjadi sia-sia. Dadanya sesak, dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyemburkan suara tangisnya.

Dan mungkin setelah ini, aku nggak akan suka boba lagi.

Meski bergerak larut, Kota Jakarta masih seramai biasanya. Keramaian jalan raya yang tak padam itu menenggelamkan Karina dalam perasaan perih. Gadis itu sendiri tidak tahu, bagian mana yang akhirnya membuatnya menangis sesenggukan seperti orang yang putus asa. Kalau Cetta benar-benar tidak menyukai sesuatu dari Karina, harusnya laki-laki itu memberitahunya. Dengan begitu, Karina bisa berusaha memperbaiki sikapnya dan mereka bisa melanjutkan hubungan dengan nyaman. Tetapi Cetta tidak pernah memberitahunya. Laki-laki itu tidak memberinya kesempatan. Tiba-tiba saja semuanya menjadi rusak, dan Karina terlalu clueless untuk memperbaikinya.

Karina tahu, orang-orang yang melintas pasti memandangnya sembari bertanya-tanya. Apa yang terjadi sampai dia harus menangis sepanjang trotoar malam-malam begini? Tetapi Karina terlalu malas meladeni pandangan mereka satu per satu. Gadis itu memutuskan untuk terus berjalan. Menyusuri ramainya jalanan dengan perih yang menusuk-nusuk. Rasa sakit yang campur aduk itu tanpa sadar membuat sepasang tangannya mengenggam dengan kuat. Dia baru menyadari itu ketika telapak tangannya menjadi perih. Sebaris luka kecil basah tertinggal di sana. Bersama noda merah yang kental. Ternyata salah satu kuku jarinya yang bergambar bunga daisy patah, menyisakan potongan yang tajam dan tak beraturan.

Karina pikir, ini akan menjadi hari yang indah sepanjang hidupnya. Tetapi menjelang pergantian hari, dia justru terduduk di trotoar yang kotor dengan sedu-sedan yang tak berkesudahan. Sama seperti kukunya yang cantik dan selalu dia rawat sepenuh hati, hatinya patah. Bekas patahan itu sepertinya memiliki bentuk yang sama tajam dan tak beraturannya. Untuk itulah Karina menangis, sebab rasa sakit itu terlalu besar untuk dia tanggung secara diam-diam.

*****

Fatal Trouble [PREVIEW]Where stories live. Discover now