"Bisa-bisanya lompat sendiri dan nggak bantuin aku!" Karina masih saja menggerutu. Bahkan ketika Cetta sedikit menunduk di belakangnya dan bersiap untuk mengangkat tubuhnya, gadis itu masih saja menunjukkan raut wajah kesal.

"Iya, iya, maaf."

Ucapan maaf itu terdengar seperti basa-basi belaka. Karina tahu bahwa laki-laki yang menggendong tubuhnya saat ini memang sengaja menjahilinya seperti itu—sebab ini bukan sekali-dua kali, Cetta cukup sering mengerjainnya hingga dia harus menahan kesal seperti sekarang. Jadi setelah Cetta membantunya melewati baricade dan dia sepenuhnya berada di sisi luar lapangan, Karina memutuskan untuk meninggalkan laki-laki itu begitu saja.

"Karina!" Dari jauh, Cetta berseru memanggil namanya. Tetapi Karina bersikeras tidak ingin menggubris laki-laki itu. Dia justru berjalan semakin jauh, meninggalkan Cetta semakin tertinggal di belakang.

"Rin! Kamu mau ke mana?" Laki-laki itu berseru kembali, dan Karina semakin tidak ingin menggoyahkan tekadnya.

"Kamu itu sebenernya mau ke mana sih? Motorku di sebelah sana, bukan di sebelah situ!!" Tetapi untuk kali ini, suara lantang Cetta berhasil membuat Karina menarik langkah kakinya. Gadis bersurai legam itu kontan membalik badan dengan tatapan bengis. Pandangan matanya yang tajam itu sempat beradu tatap dengan Cetta untuk beberapa saat. Laki-laki jangkung itu terlihat menunggu, tetapi Karina justru melengos dan berderap cepat menuju arah yang sempat ditunjuk Cetta. Gadis itu jelas mati kutu, tetapi dia tidak ingin terlihat keki, jadi dia memutuskan untuk tetap marah sambil berjalan menuju ke tempat motor laki-laki tersebut terparkir. Sementara di tempatnya berdiri, Cetta menarik napas panjang. Menatap punggung Karina yang semakin lama semakin menjauh. Tenggelam dalam sibuknya lalu-lalang.

***

"Untuk kali ini, aku bakalan maafin kamu. Soalnya kamu udah ngajak aku nonton festival—dan beliin aku boba yang enak," ujar Karina begitu mereka berjalan menjauh dari gerai minuman yang ada di sekitar lapangan.

Meskipun pergelaran musik malam itu telah usai, bebrapa orang sepertinya tak ingin buru-buru untuk pulang. Beberapa di antara terlihat masih mengobrol di pinggir jalan, membeli makanan-makanan dengan nama aneh yang kekinian. Cetta sempat mampir di salah satu gerai yang ada di sana. Memesan satu minuman boba dengan campuran gula merah yang harganya hampir 25 ribu. Sementara dia yang tak begitu suka yang manis-manis, memesan satu hazelnut latte. Dia mungkin tak begitu suka kopi yang pahit, tetapi dia cukup suka dengan campuran espresso, sirup hazelnut, dan susu itu. Rasanya tidak begitu pahit, juga tidak begitu manis dan eneg.

Iya. Besok-besok kalau gue bikin lo marah lagi, lo nggak perlu maafin gue.

"Punya kamu rasanya kayak gimana?" Sekonyong-konyong, gadis manis itu menarik minuman di tangan Cetta dan menyedotnya tanpa permisi. Sejenak, dia terlihat menimang-nimang, lalu memandang minuman yang ada di tangannya sendiri dengan pandangan keruh.

"Ih, kok enakan punya kamu?" komentarnya. Cukup kelihatan bahwa dia menyesal telah memilih brown sugar milk tea dengan ekstra boba dibanding kopi dengan campuran susu seperti milik Cetta. Jadi dengan sepasang mata kucing yang dibuat-buat, dia menatap ke dalam iris mata laki-laki itu—berharap Cetta mau menukar minuman mereka. Sayangnya, alih-alih terenyuh, Cetta justru menggedikkan bahu dan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.

"Kamu sendiri yang pilih minuman itu," cerca Cetta, hanya untuk membuat Karina cemberut.

"Soalnya aku nggak tahu kalau hazelnut latte tuh rasanya enak!"

"Padahal aku udah sering bilang, tapi kamu sendiri yang ngeyel kalau brown sugar milk tea dengan ekstra boba itu minuman paling enak di dunia ini. Lagian, nyerobot minuman punya orang lain itu nggak sopan, Karina. Lain kali minta izin dulu, jangan kayak gitu."

Fatal Trouble [PREVIEW]Onde histórias criam vida. Descubra agora