prolog

4K 98 20
                                        

Hallo ReSa...
Ini versi revisi terbaru dari cerita Aldhefara. Terima kasih yang udah baca dari awal, semoga makin relate dan hidup ceritanya ya!

Btw bakal up tiap hari kok, kan revisi doang, hihiw. Bakal banyak sin/bab baru, terus ceritanya insyaallah makin nyambung.

So, happy reading...

*****

Suara tangisan orang-orang mengudara di dalam sebuah ruangan, terlihat beberapa keluarga inti mengerubungi jasad Almasah yang baru tiba dari rumah sakit.

"Ibu, hiks..." seorang wanita memeluk jasad Almasah dengan erat, dadanya terasa sesak, hatinya begitu sakit. Kenapa ibunya pergi secepat ini?

"Naela, jangan seperti ini," kini kakak perempuan dari wanita itu mulai menenangkan. Hati sang kakak pastinya ikut merasakan kesedihan yang mendalam, namun jika ia terus bersedih, siapa yang akan menenangkan adiknya ini?

"Kak, Ibu pergi, Kak..." rintih Naela. Pelukan wanita itu berpindah ke kakaknya, ia jatuhkan rahangnya di pundak sang kakak.

Matanya mengerjap, secepat kilat benaknya dikendalikan oleh emosinya. Ia melepaskan pelukan, lalu menghapus sisa air mata yang telah membasahi wajahnya.

Netranya menelusuri setiap sudut ruangan, hingga berhenti di satu objek. Ramai orang yang tengah melayat tidak menjadi halangan baginya. Jari telunjuk terangkat, menunjuk seorang anak kecil yang tengah meringkuk di sudut ruangan, dengan dibanjiri air mata di wajahnya.

"Gara-gara kamu Ibu saya meninggal!" teriak Naela. Hal itu mengagetkan semua orang yang tadi tengah mengaji, ataupun yang tengah mempersiapkan tenda tahlil di luar. Iya, sekeras itu suara Naela.

Naela berjalan cepat, menarik kasar anak itu menuju tangga. Bak orang gila, ia kembali berteriak, "Anak seperti dia harus mati, agar tidak ada lagi yang menjadi korban selanjutnya!"

"Nae, apa yang kamu lakukan!" Semua insan di sana mencoba menenangkan Naela, termasuk sang kakak tentunya, yang bernotabene ibu kandung dari anak kecil itu.

"Ummi, hiks..." tangisan sang anak semakin pecah, membuat sebagian orang semakin panik. Apalagi saat ini Naela semakin kuat mencengkeram tangannya, ketika sang kakak mencoba melepaskan.

"Nae, jangan kayak gini. Istighfar!"

"Kakak nggak usah ikut campur-"

Bruk

Naela mendorong tubuh kakaknya hingga hampir terjatuh, jika suami sang kakak tidak datang tepat waktu dan dengan sigap menangkap istrinya.

"Humaira?" panik sang suami. Pria itu membantu istrinya berdiri tegak, sebelum akhirnya dengan sedikit kasar melepaskan cengkeraman Naela dari putranya.

"Abah-" anak itu berlari memeluk abahnya.

"Tenang, Nak, Abah dan Ummi ada di sini," ucap Abah menenangkan.

"Kak, anak itu harus mati!" berontak Naela saat beberapa warga yang melayat menjegalnya.

"Abah, Gara nggak mau mati..." pelukan anak itu semakin kencang.

"Nggak, Abah nggak akan biarin siapa pun menyakiti kamu, Nak," sahut Abah. Manik mata pria itu jatuh pada pergelangan tangan putranya. Tangan itu membiru, berarti sebegitu kuat Naela mencengkeramnya.

"Besok, kita pulang!"

*****

"Gara mau ke mana, kok bawa banyak koper?" tanya seorang gadis kecil.

"Gara mau pulang," jawab Gara dengan nada lesu.

"Gara mau pulang ke mana? Ini kan rumah Gara," panik anak itu.

"Alka, sebenarnya ini bukan rumah Gara. Ini rumah Bibi Ela, rumah Gara mah ada di Medan. Gara sekarang disuruh pulang sama Abah, jadi gara pamit ya-"

"Jangan ngomongin perpisahan sama Alka, Alka benci perpisahan, Gara!" racau Alka.

"Maaf, tapi Gara harus pulang... Maaf kalau selama temenan sama kamu, Gara nggak pernah jujur kalau di sini Gara cuma numpang."

Gara adalah anak laki-laki berumur 10 tahun, sedangkan Alka berumur 7 tahun.

"Gara nakal, hiks..." tangisan Alka pecah, tangan kecilnya mulai memukul-mukuli bahu Gara.

"Ga, ayo, Nak! Nanti kita ketinggalan pesawat," seru ibu Gara.

Gara menoleh sebentar, lalu tangan nya dengan lembut menyingkirkan tangan kecil Alka, "maaf..."

"Gara, jangan tinggalin Alka!"

Pertahanan dirinya pun runtuh, wajah nya mulai berderai air mata. Tak ingin munafik, hati kecilnya juga menolak untuk berpisah dengan sahabatnya.

"Ayo, Nak..."

"Ummi, Gara nggak mau pergi-"

"Nurut sama Abah, ya. Ummi juga nggak mau pergi sekarang, tapi kita nggak boleh membantah perintah Abah. Ini juga buat kebaikan kamu," bujuk Ummi. Perlahan, tangan lembut itu menarik tangan putranya.

"Alka..." lirih Gara. Ibu dan anak itu mulai menjauh dari Alka yang hendak berlari mengejar mereka, namun langkahnya terhenti saat tangan ibunya mencegahnya.

"Alka sayang, jangan, Nak. Mereka harus pergi. Alka nggak boleh egois, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," ujar sang ibu.

"Umma, tapi Alka mau Gara..." batu, anak itu masih berusaha memberontak.

"Alka, semoga suatu saat nanti kita bisa ketemu lagi!" seru Gara seraya melambaikan tangan ke arah Alka. Mobil yang ia dan orang tuanya tumpangi mulai melesat pergi.

"Alka suka sama Gara, jangan tinggalin Alka, Alka nggak suka sama perpisahan!"

*****

10 tahun kemudian

"Alga, Ummi minta tolong," seorang wanita paruh baya tengah membujuk putranya.

"Gue nggak mau pergi ke rumah Bibi!" sewot Alga menatap jengkel Ummi. "Kenapa nggak Hasna aja?"

"Hasna masih kecil, Nak. Nggak kasihan sama Bibi yang tinggal sendiri?" bujuk Ummi.

"Kalau boleh jujur, nggak! Gue nggak kasihan sama tuh orang. Anaknya beban banget, bikin anak orang sengsara gini," sewot Alga.

"Alga, nggak mungkin Ummi nyuruh Hasna buat temenin Bibi-"

"Karena apa? Karena Hasna anak perempuan Ummi, iya?!" sela Alga dengan intonasi yang lumayan tinggi.

"Cuma satu tahun aja, Nak. Apa susahnya?"

"Gue nggak suka tinggal di sana! Ummi mau gue mati?" pemuda itu mengacak rambutnya frustasi.

"Alga! Kamu-"

"Jangan terus dipaksa. Lagian saya juga nggak sepenuhnya ridha buat kirim Alga balik lagi ke sana," potong Abah.

"Tapi-"

Aldhefara (Re upload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang