08. When Promises Fade

50 4 0
                                        

Keesokan harinya, mentari pagi memancarkan sinarnya, mengusir sisa embun yang masih enggan melepaskan pelukannya pada dedaunan. Langit cerah itu terasa kontras dengan badai yang bergemuruh dalam hati Chaeyoung. Pagi yang seharusnya penuh harapan itu malah menjadi saksi bisu kegelisahan yang menyesakkan dada.

Chaeyoung duduk di depan komputernya, tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya. Tangannya yang lentik lincah mengetik di atas keyboard, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Sejak semalam, pikirannya terus dipenuhi bayangan percakapan terakhirnya dengan Jaehyun. Bayangan wajahnya, nada suaranya yang penuh harap, semua itu terus terngiang-ngiang, mengganggu konsentrasinya.

Tiba-tiba, ponsel di atas meja bergetar, membuat Chaeyoung tersentak dari lamunannya. Getaran itu seolah menjadi gema dari hatinya yang resah. Dengan ragu, ia meraih ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar—Jaehyun. Tanpa sadar, dadanya terasa sesak, napasnya seolah tertahan di kerongkongan. Jari-jarinya gemetar saat hendak menyentuh layar, tetapi ia tahu, ia tidak bisa membiarkan rekan-rekannya di kantor melihatnya dalam keadaan seperti ini.

Dengan langkah cepat, Chaeyoung meninggalkan ruang kerjanya, keluar dari gedung kantor yang dipenuhi rekan-rekan yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ia berjalan menuju taman kecil yang terletak di belakang gedung, tempat yang sepi, jauh dari keramaian, di mana ia bisa sejenak melarikan diri dari beban yang menghimpit hatinya.

Angin pagi berhembus pelan saat Chaeyoung akhirnya sampai di taman itu. Pepohonan yang rindang memberikan sedikit keteduhan, namun tidak mampu menenangkan gejolak di dalam hatinya. Ia berhenti di sudut taman, di antara semak-semak yang masih basah oleh embun. Di sana, ia akhirnya berani mengangkat telepon itu.

“Apa yang kamu inginkan?” suaranya keluar kasar, tidak terkontrol, penuh dengan kepedihan yang selama ini ia coba sembunyikan.

Di seberang sana, Jaehyun terdiam, seolah tidak menyangka bahwa suara Chaeyoung akan terdengar begitu dingin dan tajam. “Kenapa nada bicaramu seperti itu?” tanyanya, mencoba mencari alasan dibalik perubahan sikap Chaeyoung.

Chaeyoung menggigit bibirnya, menahan amarah yang bergolak. “Aku sedang sibuk sekarang. Jika kamu hanya ingin mengatakan hal-hal yang tidak jelas, lebih baik jangan menelepon!” kata Chaeyoung tajam, sebelum menutup teleponnya dengan sekali tekan, seolah ingin memutuskan bukan hanya panggilan itu, tetapi juga segala kenangan yang mengikat mereka.

Namun, hanya berselang beberapa detik, ponsel itu kembali bergetar di tangannya. Getaran itu seolah menjadi simbol dari perasaan Jaehyun yang tidak mau menyerah, yang masih ingin memperjuangkan sesuatu yang bagi Chaeyoung kini hanya meninggalkan luka.

“Ada apa lagi?” tanya Chaeyoung, kali ini nadanya terdengar bosan, seolah sudah lelah menghadapi drama yang terus berulang.

“Aku ingin bertemu denganmu,” suara Jaehyun terdengar lebih lembut, hampir memohon, membuat hati Chaeyoung teriris kembali.

“Aku sedang tidak ada waktu,” balas Chaeyoung cepat, berusaha keras menjaga nada suaranya tetap datar.

“Kita bertemu akhir minggu nanti,” pinta Jaehyun, masih berusaha mencari cara untuk menjembatani jarak yang kian melebar di antara mereka.

“Tidak bisa. Aku masih harus sibuk untuk menyelesaikan beberapa pekerjaanku yang menumpuk,” jawab Chaeyoung, seolah menutup semua celah untuk percakapan lebih lanjut. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang pecah, sesuatu yang tidak bisa diperbaiki lagi.

ENCOUNTERSWhere stories live. Discover now