"Tapi gimana dengan kak Clara, Bun? Dia pasti benci banget sama aku." Reya mencoba membendung air matanya saat kembali teringat bagaimana semua yang telah terjadi membuatnya merasa mengkhianati kakak kandungnya sendiri.

   Wulan menghela nafas pelan mendengar pertanyaan Reya yang mengkhawatirkan perasaan sang kakak. Wulan lantas mengambil tangan Reya lalu menggenggamnya.

   "Clara sudah dewasa, meskipun hal ini juga menyakitinya tapi Bunda yakin dia cukup kuat dan tegar untuk menerima semuanya."

                                                                                             ***

     Terduduk sambil memandang kedepan, menatap bayangan dirinya di sebuah cermin. Itulah yang Reya lakukan sekarang. Seorang diri di sebuah kamar yang terasa begitu asing untuknya, hanya ditemani oleh sepi yang terasa begitu mencekam. Tidak lama kemudian pintu kamar terbuka, mengalihkan perhatian Reya untuk melihat siapa yang membuka pintu itu melalui cermin di hadapannya.

Pria itu....

    "Kenapa belum tidur? Kamu nggak capek?" tanya Azka mencoba berbasa-basi sambil melangkah memasuki kamar.

      Reya mendengar pertanyaan pria itu, tapi ia tidak menjawabnya. Ia terlalu malas berbicara dengan pria itu.

    Hening.

    Tidak ada seorangpun di antara mereka yang berusaha menimbulkan suara. Suasana di dalam situ terasa begitu kaku, ruangan itu terasa seperti sedang mencengkram mereka berdua.

   Azka menghela napasnya, sebelum kembali memulai pembicaraan dengan Reya. Azka ingin mencoba untuk memulai, memulai kehidupan barunya dengan Reya.

  "Bisa kita bicara sebentar?" tanya Azka. Pria itu mendekat dan mengambil posisi duduk di atas ranjang tidak jauh dari tempat Reya duduk.

   "Aku ingin bicara tentang kita, dan bagaimana kehidupan kita ke depannya," sambung Azka. Reya tetap tidak acuh, hanya mendengar, dan tidak berniat menanggapi.

   "Aku tahu kamu dengar apa yang aku katakan, jadi tolong jangan terus diam seperti ini. Kita bukan lagi orang asing. Kita sudah berstatus suami istri. Bisa kamu bersikap lebih dewasa dan tidak hanya berdiam diri dengan semua rasa kebencianmu terhadapku?"

    Reya berbalik menghadap Azka dan berkata, "Tidak berdiam seperti ini? Jadi maksudmu setelah menempatkanku pada kesulitan ini, kamu pikir aku bisa begitu saja menerima semuanya dengan lapang dada dan bersikap hangat kepadamu, suamiku? Apa itu yang kamu mau, menjalani pernikahan ini seperti sepasang suami istri yang saling mencintai? Apa itu yang kamu inginkan?"

    "Itu semua terlalu naif, Azka. Semua orang tahu kita menikah karena aku mengandung anakmu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, kamu adalah pacar kakakku. Semua orang menganggap aku lah yang salah. Lalu menurutmu aku harus bagaimana? Terlihat seolah baik-baik saja? Terlihat bahagia dengan pernikahan ini, sementara ada orang di luar sana yang tersakiti atas pernikahan ini?" Reya merasa ini adalah kali pertama sepanjang hidupnya untuk bicara sepanjang ini.

    "Semuanya adalah salahku, dan bukan salahmu Reya," ucap Azka.

    "Kamu pikir dengan berkata bahwa ini semua kesalahanmu orang-orang di luar sana akan mengubah pemikirannya?" tanya Reya yang semakin menjadi-jadi.

     Azka benar-benar tidak suka dengan situasi seperti ini. Ia berniat untuk memperbaiki semuanya. Tapi bahkan sebelum ia memulai, Reya jelas tidak mendukungnya.

    Azka berdiri berjalan mendekati Reya, namun wanita itu langsung berdiri dan menjauh dari Azka.

    "Jangan mendekat, dan jangan sekali-kali menyentuhku. Cukup malam itu saja aku melakukan kesalahan dengan membiarkan lelaki brengsek sepertimu menyentuhku." Reya memberikan peringatannya kepada Azka sambil terus menjaga jarak aman dengan pria itu.

    "Kamu istriku, menyentuhmu bukan lagi hal terlarang untukku, Reya," sahut Azka.

     Azka tidak berhenti setelah mendengar peringatan Reya, pria itu justru kembali mendekat ke arah Reya sambil mengungkapkan isi hatinya.

    "Kamu boleh membenciku, kamu boleh membenci pernikahan ini, tapi aku harap kamu nggak akan membenci anak kita yang sedang kamu kandung," ucap Azka.

     Tubuh Reya gemetar mendengar kalimat pria itu, seakan tidak mengenal dirinya sendiri. Reya kembali terdiam.

    "Kata maaf mungkin tidak akan semudah itu menghapus semua luka yang aku berikan untukmu. Aku tidak ingin berjanji untuk tidak memberikan luka baru di hidupmu. Tapi dengan status sebagai suamimu, aku akan menebus semua kesalahanku dan aku akan membahagiakan kamu." Azka kini berdiri tepat di hadapan Reya, memandang lekat mata Reya. Ia mencoba meyakinkan wanita itu bahwa dirinya tidak berbohong dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

    Azka lalu meraih kedua tangan Reya lantas menggenggamnya. Reya tidak menolak seakan pasrah. Entah mengapa wanita itu seolah lupa dengan kata-katanya sendiri.

   "Bisa kamu percaya sama aku?" tanya Azka yang masih belum bisa melepas tatapannya dari mata Reya.

   "Bagaimana caranya aku bisa percaya, sementara aku mengenalmu dengan cara yang menyakitkan?" Reya balik bertanya kepada Azka.

   "Mulai sekarang ayo kita mulai kehidupan baru bersama-sama, Reya. Aku dan kamu akan menjadi sepasang suami istri yang bisa mengerti satu sama lain. Meskipun kita tidak menikah karena saling mencintai, tapi aku yakin seiring berjalannya waktu kita bisa saling mencintai." Azka terdengar benar-benar tulus dengan perkataannya. Ia benar-benar serius ingin memulai semuanya bersama Reya. Semuanya akan lebih mudah jika saja wanita itu mau menerima dirinya sebagai seorang suami.

   "Andai semua semudah seperti apa yang kamu katakan, mungkin aku akan menyanggupinya. Tapi kenyataannya semua tidak semudah itu Azka. Apakah kamu memikirkan perasaan Clara sebelum mengucapkan kalimat itu padaku?" kali ini pertanyaan Reya terdengar sangat lembut.

   "Aku tau ini menyakitkan untuk Clara, tapi apa harus aku kembali padanya dan meninggalkanmu disini? Tidak, Reya. Kamu adalah istriku, dan Clara, meskipun aku mencintainya, tapi dia bukan lagi alasan mengapa aku harus memikirkan perasaannya sementara aku mempunyai istri yang sedang mengandung anakku. Dan itu kamu Reya," ucap Azka.

     Kamu menikah dengan lelaki yang mencintai kakakmu, Reya, dan kamu adalah bentuk tanggung jawab dari seorang suami kepada istrinya.

     "Mari mulai semuanya bersama-sama Reya."

    Reya bisa melihat adanya sebuah ketulusan di mata pria itu. Meskipun hatinya ragu, namun masih tersisa keyakinan untuknya bersedia memulai dengan lelaki itu, meskipun Reya tahu itu akan menyakiti orang lain.

                                                                                                          ***

Captain, I'm YoursOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz