Terlalu banyak jarak di antara mereka.
Itu alasan yang cukup bagi Ni Lara untuk akhirnya membulatkan tekad bicara malam ini. Meski keberanian itu terasa seperti memanjat dinding yang licin—berulang kali diiringi ketakutan hingga hampir tergelincir untuk mengurungkan niatnya saat ini.
Ruangan itu begitu sunyi hingga detak jarum jam terdengar seperti gema yang menambah berat udara di antara mereka. Di dua sisi sofa yang berseberangan, mereka duduk saling berhadapan—tetapi jarak yang membentang di antara mereka lebih dari sekadar ruang. Seolah, turut menggambarkan tahun-tahun dingin yang telah menumpuk tanpa disadari.
Ni Lara mencuri pandang ke arah suaminya; nelangsa menyeruak ketika melihat ketenangan dan minimnya ekspresi di wajah pria itu. Pemandangan itu membuatnya bertanya-tanya:
Apakah pria itu memang tidak bisa membaca situasi? Ataukah ia sedang berusaha mengendalikan situasi hingga kesenyapannya kini terlihat angkuh atas perasaan gugup yang dialami Ni Lara saat ini.
"Mas, aku ingin bicara."
Tatapan itu mulai berpindah padanya—tenang, seperti air danau yang tidak beriak meski tertiup badai. Dari situlah kesenjangan kian menampakkan wajahnya di antara mereka; situasi itu bukanlah hal baru yang seolah tak semestinya dipermasalahan. Namun, justru itulah yang membuat hati Ni Lara kian dilanda sesak. Hatinya semakin mengguratkan retak yang hampir hancur.
Wanita itu meremas ujung gaun tidurnya. Telapak tangannya basah, licin dan terasa perih. Namun, tak ada kalimat yang berhasil keluar dari pergulatan pikirannya meski telah di ujung lidah. Tenggorokannya tercekat, seolah ada bongkahan batu besar hingga membuatnya menelan saliva dengan kelat..
Ni Lara harus bersiap. Ia tahu, setelah ini, semuanya akan berubah dan tidak ada lagi jalan untuk kembali.
Dalam tarikan napas yang terasa begitu berat menyesakkan, Ni Lara berkata pelan, "Aku ingin cerai, Mas."
Ucapan itu berhasil menarik atensi sang suami seutuhnya. Keterkejutan sempat berkelebat di matanya; Ni Lara memergoki ekspresinya yang terperanjat dengan iris melebar. Namun hebatnya, pria itu segera menguasai diri. Ia seolah tak ingin kendali terlepas dalam genggam ketidakpeduliannya.
Ni Lara nyaris berteriak. Matanya berkaca-kaca menahan tangis dan sesak di dada yang kian tak tertahankan. Mengapa ia masih setenang itu? Apakah pernikahan ini memang tak berarti baginya? Ataukah justru—permintaan inilah yang selama ini ia tunggu?
Diliputi luka, Ni Lara menunduk sambil menggigit pipi dalamnya. Remasan jari pada ujung gaun tidurnya semakinn kuat, tak kuasa menahan diri melihat sikap acuh tak acuh suaminya. Sungguh, semua ini terasa begitu menyakitkan walau sejak awal ia tahu 'cinta' adalah hal yang tabu dalam hubungan mereka.
"Kenapa, Ni? Kenapa kita harus bercerai?"
Suara itu lembut, terlalu lembut untuk situasi seperti ini. Seolah dengan kelembutan tersebut, pria itu ingin menenangkan badai tanpa tahu bahwa dialah sumber badai itu sendiri.
Air mata Ni Lara meluruh jatuh begitu saja. Tatapan sang suami meluluhkan sekaligus menghancurkannya; teduh tapi penuh luka yang dibalut ketulusan yang seperti dikhianati. Seolah, ketenangan yang sebelumnya terlihat begitu kuasa dan angkuh tak pernah terjadi sama sekali.
Ni Lara menggigit bibir seraya memalingkan wajah. Ia tahu, tatapan itu selalu menjadi titik lemahnya. Pria itu sangat tahu bagaimana membuatnya menangis, mengobrak-abrik perasaannya hingga merasa begitu jahat dan penuh rasa bersalah.
"Mas tahu kenapa," jawabnya hampir seperti bisikan tanpa suara.
Ia menunduk, menahan isak yang mengguncang tubuhnya. Keberanian yang tadi diperjuangkan dengan seluruh tenaga, mendadak lenyap begitu saja.
YOU ARE READING
CALL ME WHEN IT'S OVER
RomanceMenikah dengan putra mantan orang nomor satu di negeri ini bukanlah mimpi Ni Lara. Namun sejak kecil, ia tidak pernah benar-benar memiliki pilihan atas jalan hidupnya sendiri. Segalanya telah diatur demi memenuhi ambisi sang papaㅡbahkan ketika memak...
