[4] Ice Billionaire

29 2 0
                                    

Rambut merah bergelombang, netra biru hazel, bibir tipis, tinggi 160 centimeter dengan badan yang mungil meski ideal. Xaviera Luciano sama sekali tak merasa ada yang istimewa di dirinya, selain ia memiliki darah kental Amerika dari almarhum sang ayah dan Indonesia dari almarhumah ibunya. Tipe pria yang idam-idamkan lebih tinggi darinya, tentu tampan, serta memiliki kepribadian yang tak beda jauh darinya.

Manis, ramah, lucu.

Sedang Gibran? Ia seperti cermin Yin dan Yang.

Xaviera masih bertanya-tanya nasibnya hari ini, mengetahui ia akan bekerja sebagai asisten pribadi, dengan alasan yang masih begitu sulit ia cerna itu kenyataan ataukah hanya fiksi.

Ia tak mengenal Girban sama sekali.

Dan ia cukup yakin begitu sebaliknya.

Kenapa dia ingin ia menjadi istrinya?

Xaviera menghela napas, menatap dirinya di cermin kamar mandi, gadis mungil yang dibalut pakaian kerja berwarna abu-abu tua. "Xav, santai, cuman satu bulan. Setelah itu berlalu, lo bilang enggak, beres!"

Sekalipun ia CEO-nya, kekayaannya melimpah, putra pemilik perusahaan yang siap menjadi pewaris, but hell no Xaviera ingin kebahagiaan bukan uang. Walau memang uang bisa membeli kebahagiaan, namun banyak pengecualian.

Oke?

Banyak pengecualian.

Keluar dari kamar mandi, Xaviera menyampirkan tasnya ke bahu, memakai sepatu high heels hitam yang sepadan dengan jas abu-abu tua serta celana hitamnya. Kini, gadis itu keluar dari apartemen menuju ke luar.

"Xaviera!" Sebuah suara memanggil, Xaviera menoleh ke sumbernya, spontan terkejut dengan mata melingkar sempurna.

Ia melihat Gibran keluar dari sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri, menghampirinya setelahnya. "Pak ...."

"Masuk ke mobil!" perintahnya, yang tentu saja mau tak mau Xaviera menurut. Ia mengekori Gibran hingga ke samping mobil, di mana pria itu membukakan pintu untuknya dan ia masuk ke sana.

Gibran berputar ke sisi lain mobil untuk kemudian masuk ke tempat duduk sopir. Mobil berjalan dan Xaviera kembali kalut dengan isi kepalanya.

"Pak Zayden kenapa sengotot ini, sih? Apa alasannya?" tanyanya risi, meski tak bisa protes. Rasa takutnya dipecat masih kentara, resign pun ia tak yakin bisa mendapatkan pekerjaan yang menyamankannya.

Cerita ini tersedia di
Playbook: An Urie
Karyakarsa: anurie
Dan bisa dibeli di WA 0815-2041-2991

Pengasuh Duda [21+]Where stories live. Discover now