13. Helios

160 44 8
                                    


Di dalam dunia Tay, Off adalah mataharinya.

"Uang terus yang kamu pikirin!!!"

Tay berusaha menutup telinga. Tubuh gemetarnya bersandar di balik pintu kamar yang tertutup. Tangisnya runtuh dalam diam mendengar Mama berteriak di ruang keluarga, hanya bersekat satu dinding tipis dengan kamarnya.

"Anak-anak juga butuh kasih sayang kamu!!!"

Suara gelas pecah terdengar menyakitkan. Tay menekan telinganya kuat-kuat. Berusaha memblokir suara pertengkaran orangtuanya.

"Kamu pikir aku kerja buat siapa?" Suara Papa menggema penuh amarah. "Aku ga akan bisa nyekolahin Off di sekolah bagus kalau ga punya uang!!!"

"Kamu keterlaluan!!!" Mamanya menjerit.

"Keterlaluan gimana?? Off butuh mentor bagus untuk masa depannya!"


Bahkan di titik paling berantakan dalam keluarganya, hanya Off yang terlihat. Tay memeluk lutut, berusaha menahan isak yang menyesakkan dada.

"Off ngga butuh itu!!!"

"Apa yang kamu tau tentang Off?"

Di tengah isakannya yang perih, Tay merasakan tangannya diketuk dua kali dengan ujung jari. Suara pertengkaran orangtuanya masih terdengar. Dengan takut, Tay mengangkat wajah. Ia terkejut menemukan Off sedang berlutut di depannya.

Tay bingung, ia sedang bersandar di pintu kamarnya yang tertutup. Bagaimana Off bisa masuk?

Kebingungan Tay mereda saat melihat jendela di balik punggung Off terbuka lebar.

"Aku ga punya cukup kekuatan untuk bikin semua orang diem." Off menarik satu tangan Tay, meletakkan dua benda kecil di telapaknya. "Tapi aku punya dua earphone buat bantu nutup telinga kamu."

Perlahan, suara pertengkaran orangtuanya memudar. Pelan-pelan terganti oleh suara Off yang menenangkan.

Tay menatap sepasang earphone wireless di telapak tangannya. Lalu bergantian menatap Off yang tengah tersenyum.

Tak lama, suara bel rumah berbunyi. Raut Off tiba-tiba berubah panik.

"Gawat, mentorku dateng."

Off berlari cepat ke jendela. Dengan satu lompatan ringan, kakinya telah menapak di bingkai jendela.

Cahaya matahari berkilau dari luar jendela. Membanjiri tubuh Off dengan kilau keemasan yang mempesona.

Tay hanya bisa berdiri di dalam kamar, berdiri di balik bayang-bayang Off yang bersinar.

"Kakak..." Tay bergumam lirih.

Off sudah bersiap melompat keluar kamar. Mendengar panggilan Tay, bocah kecil yang lahir hanya 20 menit sebelum Tay itu menoleh.

"Hm?"

Walaupun seluruh keluarganya, atau bahkan satu dunia hanya memandang Off dan Tay tidak punya pilihan selain berdiri di balik bayang-bayangnya, Tay tidak pernah keberatan.

Tay tersenyum cerah. Ia menggenggam earphone di tangannya erat-erat.

"Makasih."

Karena Off adalah kakak kembarnya. Sosok matahari yang akan tetap membagikan kehangatan, sekalipun Tay berada dalam gelapnya bayang-bayang.

─── ⋆⋅ ✦ ⋅⋆ ───

Gun berjalan dengan lesu. Sudah dua hari Off tidak masuk. Rumahnya sepi. Off juga tidak menghubungi sama sekali.

Gun menendang kerikil di trotoar dengan kesal. Ia tahu ia salah mendatangi rumah Off tanpa izin. Walau tidak sengaja, ia juga tahu telah melewati batas privasi yang Off jaga. Walau hanya kebetulan datang di saat yang tidak tepat, Gun tahu Off berhak marah kepadanya.

Tapi, ia ingin diberi kesempatan untuk meminta maaf. Ia ingin diberi kesempatan untuk berbicara dengan Off. Ia ingin bertemu Off.

"Gun."

Gun terkesiap. Tidak percaya pada pendengarannya. Ia takut berharap. Ia takut salah dengar. Perlahan, Gun memutar tubuh. Nafasnya terjerat saat melihat Off berdiri tidak jauh di depannya dengan baju kasual, kaos putih dilapisi kemeja dan celana jeans, tengah melambai dan tersenyum kepadanya.

Kalau tidak ingat mereka bukan siapa-siapa selain 'teman', Gun pasti sudah berlari menubruk tubuhnya.

Off berjalan mendekat. Harum bayi yang Gun rindukan perlahan tercium.

"Mau jalan-jalan?"

Gun masih memakai seragam sekolah. Langkahnya sudah sampai di depan rumah. Tetapi ia tidak perlu banyak berpikir untuk mengiyakan ajakan Achillesnya.

─── ⋆⋅ ✦ ⋅⋆ ───

Off membawa Gun ke taman bermain di sekitar komplek perumahan yang Gun tinggali. Off bilang, sebentar lagi petang. Off takut orang tua Gun khawatir jika Gun terlambat pulang.

"Tay cerita sesuatu ke kamu di sekolah?"

Gun menggeleng. Sejak hari itu, Tay justru menghindarinya. Tay masih bermain dan berinteraksi seperti biasa pada New, namun jelas sekali, Tay selalu pergi setiap Gun datang kepada mereka.

Off menghela nafas. Mereka tengah duduk di pagar pembatas taman, menikmati pemandangan anak-anak kecil yang berlari kejar-kejaran.

"Tay itu... adik kembarku."

Angin berhembus. Daun-daun kering beterbangan di sekitar mereka.

"Orangtua kami cerai dua tahun yang lalu. Tay ikut Papa. Sedangkan aku ikut Mama dan ganti nama ikut marga Mama."

Gun memperhatikan wajah Off. Gun bisa menangkap keraguan di wajahnya. Off seperti tidak sepenuhnya ingin bercerita.

"Tay dulu pengen ikut Mama. Mungkin karena itu dia marah sama aku. Makanya, Gun... Jangan benci dia." Raut Off berubah cemas. "Jangan jauhi Tay. Apalagi nyebar rumor buruk tentang Tay di sekolah. Jangan──"

Gun meletakkan tangannya di atas tangan Off yang bergerak gelisah. Off menoleh ke arahnya. Gun tersenyum. Lesung pipinya berceruk manis.

"Aku ngga akan ngelakuin itu. Aku therapon-mu, kan?"

Raut cemas Off perlahan memudar. Gun merasa bisa bernafas lebih lega.

"Lagipula, kamu ngelakuin ini untuk ngelindungi Tay, kan? Aku juga... akan ngelindungi orang-orang yang bagi kamu berharga."

Off membalik tangannya, berganti menggenggam tangan Gun. Pelan-pelan, Gun bisa melihat senyum merekah di wajah Off.

"Makasih ya."

Gun mengangguk senang.

"Mau beli es krim?" Gun bertanya antusias. "Tapi Off yang bayar, soalnya Off ingkar janji untuk nelfon aku malem itu."

Off mengangguk. Perasaannya terasa jauh lebih lega.

"Boleh."

"Dua."

"Kok dua?"

"Soalnya Off ga ada kabar dua hari."

"Aku sama Mama ke rumah Nenek. Di sana ngga ada signal."

"Kalau gitu tiga."

"Kok nambah???"

"Tiga atau aku marah."

"Marah aja. Kamu lucu kalau marah."

"Mana ada!!!"


─── ⋆⋅ ✦ ⋅⋆ ───

Helios. Dewa Matahari.

My Achilles [OffGun]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz