"Reia, setelah sampai di rumah, aku mohon untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di antara kita berdua. Setidaknya saat kita berada di dalam pantauan Bunda."

"Ya, ya. Sudah jangan banyak bicara. Aku masih marah padamu." aku mengomel yang kemudian hanya dibalas anggukan oleh Sagara.

Sesampainya di rumah semua terjadi seperti hari-hari biasanya. Aku dan Sagara saling melempar senyuman palsu, berinteraksi seolah-olah kami tidak pernah bertengkar. Hanya saat ada Bunda.

Sejujurnya aku sudah muak untuk bersikap seolah aku baik-baik saja. Hei, hatiku sangat sakit. Semenjak Sagara mengajak putus untuk yang pertama kalinya, sejak saat itulah sikapnya mulai berubah.

Aku rindu Sagara yang dulu.

"Reia, Saga, bunda baru saja mendapat kabar kalau nenek kalian sakit. Tante Rara tidak bisa merawat nenek karena harus ke luar kota. Jadi bunda yang harus merawat nenek," ujar Bunda saat kami sedang bersantai di ruang keluarga.

"Bunda akan mengajak nenek menginap di sini?" aku bertanya dengan antusias karena begitu merindukan nenekku.

"Tidak. Bunda yang akan ke rumah nenekmu."

"Ah, kenapa begitu?" tanyaku penuh kecewa.

"Nenek sudah tidak bisa berpergian jauh lagi, sayang," ujar bunda.

"Kalau begitu, aku ingin ikut Bunda."

"Kau harus sekolah. Kau bisa mengunjungi nenek saat liburan sekolah nanti," tolak bunda dengan tegas.

Aku mengerutkan dahi. "Jadi bunda akan meninggalkanku sendirian? Aku tidak mau."

Bunda tersenyum. "Apa maksudmu sendirian? Kan ada kakakmu. Bunda juga sering meninggalkan kalian berdua di rumah, kenapa sekarang kau keberatan?" ucapan bunda membuatku terdiam.

Tentu saja aku keberatan, karena sekarang keadaannya telah berubah. Dulu aku tidak keberatan saat bunda meninggalkan kami dalam waktu yang lama untuk bekerja dan justru itu hal yang aku tunggu-tunggu karena di saat itulah aku dan Sagara punya waktu untuk  berdua layaknya pasangan kekasih.

Namun untuk saat ini, aku sangat tidak nyaman jika harus berdua saja di rumah dengan Sagara. Apa yang akan aku lakukan dengannya? Aku bahkan tidak bisa memintanya untuk mengantarkanku ke rumah teman saat aku bosan nanti.

"Reia, kenapa diam saja?" suara bunda memecah lamunanku.

"Ah? Tidak. Kapan bunda akan berangkat?"

"Malam ini. Kalian berdua antar bunda ke stasiun, ya?"

***

Setelah mengantar bunda ke stasiun dan menunggu hingga keretanya berangkat, aku dan Sagara memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Seperti sebelumnya, kami hanya berbicara seperlunya dan tentu saja Sagara yang selalu memulai pembicaraan.

"Reia, apa kamu lapar?" tanyanya.

"Tidak," jawabku singkat.

Bohong. Aku sangat lapar. Tetapi aku tidak mau mengiyakan pertanyaannya. Biasanya Sagara tidak pernah bertanya, tetapi dia menyimpulkan sendiri dengan langsung mengajakku ke restoran atau kedai. Ia selalu tau apa yang aku suka, jadi aku hanya perlu mengiyakan apa yang ia tawarkan.

Tetapi kali ini, kenapa Sagara bertanya?

Dering telepon berbunyi memecah keheningan di dalam mobil. Aku segera memeriksanya, ternyata panggilan itu dari sepupuku, Samudera.

"Halo, Sam?"

"Hei, kenapa tidak ada orang di rumah?"

"Aku dan Saga baru saja mengantar bunda ke stasiun. Kami sedang di perjalanan pulang."

Don't Blame Our Fate Where stories live. Discover now