48 | Janji pada Bunda

657 123 12
                                    

Aiden menyeka matanya yang meneteskan cairan bening ketika doanya berakhir. Dia mengusap batu yang bertuliskan nama Ardjiwa Kyra Gumilang di hadapannya.

"Jaga Ayah sama Ibu selalu ya, Nak. Sekarang Ayah masuk dulu. Kayaknya ibu kamu udah bangun. See you tomorrow, Sayang. I love you. I miss you."

Pria itu berdiri, lalu memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Kyra sudah pergi meninggalkannya hampir tiga bulan lalu, tapi hatinya masih terasa kosong. Dia belum bisa mengikhlaskan kepergian anaknya yang belum sempat dia ketahui itu.

Terkadang, dia merasa bersalah pada Kaiya karena terus-terusan menyuruh istrinya itu untuk sabar dan ikhlas, padahal dia sendiri belum bisa melakukan hal itu.

Dia berusaha sekeras mungkin menyembunyikan kesedihannya agar Kaiya tidak semakin menyalahkan dirinya sendiri. Kejadian Kaiya yang histeris beberapa hari lalu masih terbayang sangat jelas di benaknya dan itu sungguh menakutkan baginya. Dia sudah kehilangan Kyra, dia tidak mau kehilangan Kaiya juga.

Memasuki rumahnya, Aiden melihat Kaiya yang sedang duduk di ruang TV dengan posisi memunggunginya. Dihampirinya istrinya itu dan berniat untuk memberinya kejutan. Namun, seiring jaraknya yang semakin dekat, Aiden mendengar isakan lirih dari Kaiya.

Aiden terdiam. Ternyata, Kaiya masih sama sedihnya dengan dirinya. Mereka berdua sama-sama menyembunyikan perasaan satu sama lain selama ini.

"Sayang ...," panggil Aiden lembut.

Kaiya tampak menyeka matanya, lalu balik badan. "Ya, Mas? Mau sarapan sekarang?"

Hati Aiden terasa tersayat melihat Kaiya yang berusaha terlihat baik-baik saja di depannya. Matanya membulat sempurna dengan binar yang dibuat-buat, ditambah sisa air mata yang masih tergenang di sana. Bibirnya juga tersungging lebar dan kaku.

Aiden melangkah dan bergabung dengan Kaiya duduk di atas sofa. Diusapnya penuh sayang kepala sang istri, lalu dikecup keningnya. "Good morning, Ibu Kyra."

Kaiya mengerjap. "G—good morning. Something happened?"

Aiden menggeleng sambil tersenyum. "Nggak ada. Cuma pengin nyapa ibunya Kyra aja."

Kepala Kaiya meneleng dan matanya memicing curiga. "Kamu mau minta apa, Mas? Atau ... kamu habis ngapain?"

Aiden tergelak, kemudian menggenggam tangan sang istri. "Enggak ada, Sayang. Aku nggak ngapa-ngapain. Dan, aku juga lagi nggak mau minta apa—eh, ada ding."

"Apa?"

"Mau minta cinta kamu yang banyak banget."

"Maaasss, geliiii." Kaiya bergidik ngeri.

Tawa Aiden berderai makin kencang. "Hahaha, padahal aku beneran, lho."

"Tapi, geli."

Aiden masih terkikih geli. Sambil mengusap punggung tangan Kaiya dengan ibu jarinya, Aiden terpikir sesuatu. "Yang, ke Jakarta, yuk."

"Hm? So sudden?"

Aiden mengangguk. "Refreshing. Udah lama kan kamu nggak ke Jakarta. Kita bisa jalan-jalan atau ke rumah Bunda atau Mama."

Kaiya tampak memikirkan ide suaminya itu. Dia memang sudah lama tidak ke Jakarta karena Aiden melarangnya ikut saat persidangan. Jadi, sehari-harinya hanya di Bogor bersama Bude Ninis dan sesekali menelepon Vallerie untuk membahas Sendok Kayu.

"Sekalian beliin sandalnya Bude Ninis." Aiden memantau keadaan sekitar, lalu mencondongkan badannya mendekat ke Kaiya. "Cerewet banget sandalnya belum kubeliin dari kemarin. Kayak alarm yang tiap lima menit nyala," bisiknya.

Us, Then? ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang