V - 8

1.3K 278 10
                                    

Roya berputar-putar di depan cermin, tersenyum pada mama dan ayah yang memperhatikannya dengan senyum lelah.
Bajunya berwarna putih, lengan pendek dengan rok mengembang sampai bawah lutut.
Roya langsung jatuh hati pada gaun itu saat ke pasar bersama mama, uang tabungannya tidak cukup membeli gaun itu karena tiba-tiba saja isinya berkurang, tinggal setengah tapi kemudian mama memberinya tambahan dari uang yang harusnya dijadikan pembeli beras.
Mama bilang Roya cantik sekali memakai gaun itu.
Roya tidak sabar mendengar Silas mengatakan hal yang sama malam ini.

"Biarkan Rama mengantarmu, pakai motor ayah saja. Jadi bajumu tidak akan kotor dan make-up mu juga tidak akan luntur."
Ucap ayah dengan mata sayunya yang akhir-akhir ini membuat Roya khawatir.

Saat melihat Roya melihat Rama yang merokok di luar pintu, mama bersuara.
"Rama sudah janji tidak akan bertengkar denganmu.
Dia hanya akan mengantarmu, lalu menunggumu pulang di bawah bukit.
Begitu pestanya usai, dia akan menjemputmu."

Roya tidak akan menunggu sampai pesta usai.
Dia tau dalam keramaian itu tidak ada satupun yang dikenalnya dari tamu-tamu itu dan orang-orang kampung sini yang bekerja di rumah Armin tidak mungkin Roya menganggu mereka dan ngajak ngobrol.
Satu-satunya hanya Silas tapi tidak mungkin Silas fokus padanya saja kan, ada banyak orang yang harus Silas sapa dan ajak ngobrol jadi ya, dia datang hanya demi janjinya.
Dia tidak akan membuat Silas malu dan merasa risih dengan kehadirannya.
Mau tak mau, semakin lama Roya mulai menyadari apa yanh Rama katakan benar adanya.
Tapi apa salahnya jika Roya bermimpikan sedikit lebih lama lagi, sambil berharap tuhan mendengarkan doa dan mimpinya.

Mama mendekat, merapikan rambut Roya yang tadi dibantu dikeramas olehnya dengan air mawar agar wangi dan lembut.
"Putriku." Bisiknya dengan mata berkaca-kaca, tau apa yang diimpikan putrinya tidak akan terkabul.
"Apapun, mama paling suka melihatmu tersenyum.
Senyummu begitu manis dan bersinar.
Semoga kau selalu terlindungi dari semua kejahatan dan rasa sakit."

Roya tersenyum memeluk mama.
"Tidurlah duluan, tidak usah menungguku."
Roya hanya ingin meyakinkan mama agar tidak mengkhawatirkannya, kemungkinan juga dia sudah pulang sebelum mama dan ayah masuk kamar.
Roya melepas pelukannya pada mama, lalu membungkuk memeluk ayah yang terbatuk sebelum menepuk punggung Roya pelan. Hati-hati lah, cuma itu yang Ayah katakan.

Roya melambai, keluar rumah berhadapan dengan Rama yang segera mematikan rokoknya.
"Suasana hatiku sedang bagus. Aku tidak mau bertengkar denganmu."
Dia langsung memberi peringatan, bersikap defensif.

"Aku tidak pernah ingin bertengkar denganmu. Kau kesayanganku.
Aku selalu ingin melihatmu bahagia."
Rama berjalan mendahului Roya menuju sepeda motor tua yang terparkir di samping rumah kayu mereka yang papanya mulai lapuk.

Rama menyalakan motor, menunggu Roya duduk dengan nyaman lalu membawa mereka menembus kabut dingin menuju rumah nyonya Armin yang terlihat terang benderang diatas sana.
"Aku mendapatkan tawaran bekerja di kapal Australi.
Aku sudah bicara dengan ayah dan aku pikir tidak ada alasan menolak tawaran itu, lagipula ini kesempatan yang tidak mungkin akan kusia-siakan.
Beberapa Minggu lagi umurku delapan belas, legal bekerja di kapal itu."

Roya terdiam, kaget dan langsung sedih mendengar Rama yang mau pergi jauh.
"Kapal.. biasanya pulangnya bakal lama."
Bisiknya tanpa sadar menekan pipinya ke punggung Rama yang hangat.

"Kau punya mimpi mengangkat martabat keluarga kita, aku juga."
Jawab Rama yang sengaja membawa motor pelan sekali, berbanding terbalik dengan kebiasaannya selama ini.
"Kau dengan caramu yang tak masuk akal aku dengan caraku yang lebih realistis.
Meski terkenal sebagai anak laki-laki pemalas dan tak berguna dari ayah dan mama tapi aku juga ingin membahagiakan kalian semua."

"Kau bukan orang tak berguna. Kami tidak pernah marah atau kecewa padamu, jadi jangan dengarkan kata-kata Mereka yang hanya pandai menghujat.
Kita tidak pernah tau masa depan, tapi aku tau kau pasti berhasil nanti."

Rama tertawa pada satu-satunya orang yang selalu memberinya semangat disaat ortunya sudah angkat tangan, melepas Rama bersikap sesuka hati.
"Ini kesempatan yang takkan datang dalam seratus tahun. Kalau aku melewatkan kesempatan ini, selamanya aku akan jadi pengangguran dan kau harus tunggang-langgang mencarikan uang untukku, membeli rokok untuk saudaramu ini."

Roya memeluk pinggang Rama makin erat.
"Aku tidak keberatan, apalagi aku tau pasti kau juga akan melakukan hal yang sama jika aku susah."
Roya menghirup napas panjang.
"Kau saudaraku, walaupun kita tidak punya hubungan darah tapi kita tumbuh bersama dan aku sayang sekali padamu."

Rama tertawa.
"Ada apa, kenapa kau tiba-tiba jadi manis.
Apa yang ada di dalam dirimu orang lain.?"

Roya mencubit pinggang Rama membuat motor seketika jadi oleng saat Rama menjerit kesakitan.
Roya tertawa.
"Katakan sejujurnya, apa aku cantik hari ini.?
Ayah dan mama memujiku tapi kau belum.!"

"Kau cantik. Kau paling cantik di dunia ini.
Tidak hanya hari ini, tapi selalu. Dimataku tidak ada perempuan lain sebaik dan sesempurna dirimu."
Rama memgadah melihat langit gelap di atas sana.
"Aku akan menjagamu, aku akan selalu ada di sisimu.
Maaf jika aku selalu menyusahkanmu dan akhir-akhir ini aku juga selalu saja membuatmu marah dan sedih.
Yang aku sesali aku juga membuatmu malu."

"Itu karena kau peduli padaku."

Sepertinya Rama kaget dengan jawaban Roya.
Mereka sudah mendaki bukit itu kalau tidak pasti Rama sudah merem mendadak dan berhenti untuk melihat ke belakang pada Roya yang terus menempelkan Pipi ke punggungnya.

"Aku tidak marah lagi padamu." Lanjut Roya.
"Aku tau semua yang kau lakukan karena kau sayang padaku.
Ayah dan mama benar, kita bukan siapa-siapa.
Aku tidak akan lagi menaruh harapan pada Silas.
Tapi hari ini, aku ingin membuat kenangan yang takkan ku lupakan selamanya.
Meski tidak bisa bersama, aku hanya ingin dia tidak melupakanku."

"Kau benar-benar jatuh cinta padanya.?"
Bisik Rama setipik hembusan angin.
"Semua yang kau katakan pada pagi inj hanyalah kebohongan."

Roya tidak menjawab hinggalah mereka sampai di depan gerbang rumah nyonya Armin.
Perlahan dia turun dari motor, merapikan bawahan gaun dan rambutnya.
Rama ikut turun dari motornya, meraih tangan Roya yang dingin, menggenggam erat.
"Roya.. kau belum pernah dekat dengan laki-laki manapun. Kau tidak tau apa itu cinta." Tekan Rama.
"Silas lebih tua tujuh tahun darimu, dia sudah terbiasa menaklukkan wanita dengan wajah dan status serta hartanya."

Roya menggeleng.
"Aku tau." Dia berkedip agar airmata yang mau berkumpul segera membubarkan diri.
"Aku sudah memikirkannya. Aku tau apa yang mama dan ayah katakan benar adanya.
Aku bukan wanita jalang bodoh.
Aku janji padamu, setelah malam ini aku akan menjauhi Silas."
Roya berpaling melihat ke arah Balkon.
Wajahnya langsung ceria, senyum lebar tercetak di sana meski Silas hanya mematung menatapnya dari atas sana.
Jantung Roya berdebar karena mata Silas menemukannya diantara keramain dan kendaraan yang terparkir.

Rama ikut melihat Silas, genggamannya makin kuat.
"Jangan pergi. Jangan menemuinya. Mari kita pulang.
Jika kau benar-benar percaya pada yang kami katakan, kau tidak perlu datang ke pesta ini."
Rama menarik Roya, seperti ketakutan.
"Ayo pulang bersamaku."
Bisiknya membungkuk dengan mata menyorot permohonan.

Roya tertawa.
"Kita sudah sampai. Lagipula aku harus menyerahkan hadiahnya pada Silas."
Sedikig kasar Roya menarik tapak tangannya.
"Jangan menungguku di sini. Cari tempat hangat yang nyaman.
Kalau aku sedikit terlambat, kau pulanglah duluan. Aku bisa pulang sendiri."

Rama menggeleng.
"Tidak." Matanya berkilau.
"Aku mohon jangan temui dia. Dia pasti akan menyakitimu."

Roya tertawa.
"Aku memberinya hadiah, kenapa dia harus menyakitiku. Lagipula aku hanya datang untuk hadiah dan ucapannya selamat ulang tahun."
Dia memeluk Rama.
"Jangan cemen, kau ini preman kampung sini, kalau ada yang melihatmu ketakutan begini mereka akan menertawakanmu."
Lalu Roya langsung melepas Rama, berlari masuk ke dalam gerbang diantara mobil-mobil yang terparkir meninggalkan Rama yang mematung di sana, menatap Silas yang masih disana menatapnya.

***************************
(07052023) PYK

Lawyer Boss Where stories live. Discover now